Pemilihan Deputi Gubernur Senior BI; Sidang Melawan Lupa
Perkara suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom membentur pintu tergembok. Saksi yang memegang kunci pintu itu mendaku sakit lupa berat dan mangkir dari panggilan pengadilan. Akibatnya, cukong pemberi cek perjalanan senilai Rp 24 miliar kepada puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 pun masih gelap sosoknya.
Dua kali surat panggilan dari Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi terhadap Nunun Nurbaeti Daradjatun, pengusaha, untuk bersaksi dalam perkara yang melibatkan puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 itu tak dipenuhi. Surat dokter yang dikirim ke pengadilan menyebutkan, istri mantan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Purn) Adang Daradjatun itu mengalami kombinasi sakit lupa berat, migrain, dan vertigo.
Berdasarkan kamus saku kedokteran Dorland, 1998, sakit lupa berat atau dementia adalah sindrom mental organik yang ditandai dengan hilangnya kemampuan intelektual secara menyeluruh yang mencakup gangguan mengingat, penilaian, dan pemikiran abstrak. Penyakit ini biasanya diderita orang tua atau dalam bahasa Jawa sering disebut pikun.
Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ngotot untuk menghadirkan Nunun. Dia dianggap kunci dalam kasus ini, terutama untuk membongkar siapa cukong penyandang dana cek perjalanan itu. Sejauh ini, sidang baru mengungkap sosok penyalur dan penerima suap.
Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangjudo, dalam kesaksiannya, menyebutkan, dia memberikan cek perjalanan kepada anggota DPR atas perintah atasannya, Nunun Nurbaeti. Arie adalah mantan Direktur Utama PT Wahana Esa Sejati, perusahaan yang dimiliki Nunun.
Arie menjelaskan, pada 7 Juni 2004, atau sehari sebelum pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, ia diminta menemui Nunun di kantornya di Jalan Riau Nomor 17, Menteng, Jakarta. Di sana, Nunun ditemani seseorang, yang kemudian dikenalkan sebagai anggota DPR. ”Nunun meminta tolong untuk menyampaikan tanda terima kasih kepada DPR,” katanya.
Awalnya, Arie mengaku menolak. ”Lalu saya bilang, kenapa mesti saya. Dia (Nunun) bilang, ini untuk anggota Dewan, masak OB (office boy)? Bapak pasif saja, nanti akan diatur anggota DPR ini. Intinya saya tidak bisa menolak,” katanya.
Saksi lainnya, Kepala Seksi Travel Check BII Pusat Krisna Pribadi menyebutkan, cek perjalanan itu dibeli dari BII oleh PT First Mujur Plantation and Industry melalui Bank Artha Graha. ”Cek perjalanan diserahkan kepada Ibu Tutur, selaku teller di sana (Bank Artha Graha) dalam kondisi blank (kosong). Tutur meminta waktu sekitar dua menit dan kembali membawa persetujuan yang ditandatangani atas nama PT First Mujur Plantation and Industry. Tanda tangannya tanpa nama,” ujarnya.
Tutur, yang dihadirkan ke sidang, mengatakan tak tahu siapa sosok yang menandatangani pembelian cek perjalanan itu. Sosok penyandang dana cek ini pun tetap misteri.
Nunun menjadi harapan untuk membuka misteri itu. KPK kini menyiapkan panggilan ketiga kepadanya. Jika tetap mangkir, KPK akan mengirim tim dokter untuk memeriksa Nunun. ”Jika dalam pemeriksaan tim dokter kami ternyata dia masih bisa diperiksa, kami akan panggil paksa,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi, Selasa (6/4) di Jakarta.
Lupa bersama
Penyakit ”lupa” yang disebutkan diderita Nunun seperti puncak gunung es dari tren lupa yang disandang saksi dan terdakwa dalam sidang kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom tahun 2004. Selain kata ”tidak tahu”, pihak yang dipanggil di sidang sangat gemar memakai kata ”lupa”.
Semua anggota Dewan yang menerima cek perjalanan mengaku tak tahu jika amplop berisi cek perjalanan yang mereka terima beberapa hari setelah kemenangan Miranda adalah suap. ”Saya tahu uang itu ada kaitannya dengan pemilihan Miranda setelah diperiksa KPK,” kata Jeffrey Tongas Lumban Batu, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), yang ikut menerima aliran dana itu. Bahkan, sebagian menyatakan tidak tahu apa isi amplop yang mereka terima. Ketika kemudian tahu isinya cek perjalanan senilai Rp 500 juta, mereka menerimanya tanpa tanya, seolah merupakan hal biasa.
Endin AJ Soefihara, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang didakwa menerima cek perjalanan melalui Arie Malangjudo, mengatakan tidak tahu siapa sosok Arie. Ia juga tak tahu kenapa diberi amplop berisi cek perjalanan itu.
Ketua majelis hakim, Nani Indrawati, geregetan dengan jawaban Endin. ”Anda tadi menyebutkan bergelar doktor, kok, tidak curiga saat tiba-tiba diberi amplop oleh orang yang Anda katakan tidak dikenal. Apakah sebelumnya biasa menerima uang seperti ini? Kenapa jawabannya seperti ini,” katanya.
Saat berhadapan dengan Panda Nababan, politisi PDI-P, majelis hakim kembali dibuat pusing dengan jawaban ”lupa” dan ”tidak tahu”. ”Saya bludrek mendengar jawaban saksi. Coba Saudara agak jujur sedikit saja,” kata anggota majelis hakim, Ahmad Linoh.
Miranda pun ikut-ikutan lupa saat ditanya siapa yang berinisiatif mengundang dalam pertemuan antara dirinya dan politisi PDI-P di Hotel Dharmawangsa, sebelum pemilihan. ”Saya sudah mencoba berusaha mengingat sejak diperiksa (KPK) sampai sekarang, tetapi saya tidak bisa katakan. Lupa,” ucapnya.
Sidang skandal suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI seperti sidang melawan ”lupa” dan ”tidak tahu” dengan bintang mantan anggota DPR, pejabat, dan istri pejabat. ---[Oleh Ahmad Arif]---
Sumber: Kompas, 7 April 2010