Pemilu 2009 di Tengah Oligarki Partai
Tahapan Pemilu 2009 kini memasuki proses uji publik atas daftar sementara calon legislator. Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu telah mengumumkan daftar sementara ini melalui berbagai media, baik cetak, elektronik, maupun website resmi KPU. Banyak kritik yang disampaikan atas metode pengumuman itu, terutama karena informasi mengenai calon legislator tidak terlalu detail sehingga menyulitkan publik untuk menilai dan menelusuri, sekaligus dianggap sekadar upaya menggugurkan kewajiban KPU belaka.
Padahal sejatinya tahapan ini merupakan tahapan krusial, ketika partisipasi publik seluas mungkin dapat dimaksimalkan untuk memotong para calon legislator bermasalah. Berharap KPU menyaring persyaratan administratif semua calon legislator yang didaftarkan oleh partai politik peserta pemilu hampir bisa dikatakan mustahil. Karena itu, peran masyarakat luas untuk menyampaikan data, informasi, dan masukan mengenai calon legislator bermasalah seharusnya diakomodasi seefektif mungkin oleh KPU.
Dari penelusuran mandiri yang dilakukan oleh LSM pemantau pemilu, paling tidak ada beberapa masalah calon legislator yang ditemukan. Masalah pertama adalah ditemukannya beberapa calon legislator yang terdaftar pada lebih dari satu partai. Praktek ini tak hanya melanggar persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008, tapi juga mengisyaratkan adanya perilaku mengadu untung. Jika di satu partai dirinya tidak lolos, masih terbuka kemungkinan mendapatkan kursi di partai yang lain.
Masalah pelanggaran syarat administratif berikutnya adalah indikasi penggunaan ijazah palsu oleh calon legislator, sehingga dapat memenuhi syarat minimum sebagaimana UU Pemilu telah mengaturnya. Persoalan ini sebenarnya bisa dibawa ke ranah pidana umum, karena sudah masuk adanya unsur pemalsuan terhadap dokumen yang diterbitkan oleh negara.
Persoalan yang tidak kalah pelik adalah tetap lolosnya para calon legislator yang sedang menjalani proses hukum, baik yang menyandang status sebagai tersangka maupun terdakwa kasus korupsi. Ihwal yang terakhir ini cukup problematis bagi KPU, karena UU Pemilu Pasal 12 huruf (g) mengenai persyaratan DPD maupun Pasal 53 huruf (g) mengenai persyaratan DPR, DPRD provinsi/kabupaten/kota menyebutkan bahwa calon legislator akan gugur dengan sendirinya jika terbukti pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Dengan demikian, jika partai politik tetap mencalonkan kandidat DPR maupun DPRD padahal diketahui mereka masih tersangkut oleh kasus pidana yang belum dalam status berkekuatan hukum tetap, sangat sulit bagi KPU untuk menggugurkannya. Pagar yang secara eksplisit menyatakan demikian membuat KPU, seprogres apa pun mereka, tidak dapat berbuat lebih jauh, kecuali mengikuti aturan main yang telah dibuat.
Berbagai masalah calon legislator yang ditemukan oleh kelompok masyarakat sipil yang bergiat dalam pemantauan pemilu di atas mencerminkan masalah serius dalam tubuh partai politik. Kesan yang timbul adalah bahwa partai politik tidak memiliki mekanisme yang ketat dan sistem yang akuntabel serta transparan dalam melakukan perekrutan calon legislator.
Hal ini merupakan sebuah dilema dalam berdemokrasi di Indonesia. Partai politik sebagai lembaga demokrasi pada saat ini justru menunjukkan gejala antidemokrasi. Partai politik, yang seharusnya memupuk para kader pemimpin bangsa yang mumpuni, justru melahirkan para calon pemimpin yang kebanyakan bermasalah.
Jika kita coba lucuti lebih jauh perkaranya, kita dapat menunjuk bahwa persoalan terbesar partai politik di Indonesia adalah karena kuatnya rezim oligarki. Kekuatan segelintir orang yang menjadi “pemilik sah” partai politik berpadu dengan berbagai kepentingan dari kelompok hitam yang memiliki kekuatan uang, membuat korupsi dalam tubuh partai politik sendiri tidak dapat dihindari.
Fenomena maraknya seat buying dalam proses perekrutan calon legislator menunjukkan hal tersebut. Sehingga siapa pun mereka, dari mana pun asalnya, apa pun yang akan dikerjakan kelak ketika menjadi pejabat publik, memiliki peluang besar untuk menjadi calon legislator jika ditopang oleh kecukupan uang. Nomor kursi atau nomor urut calon legislator menjadi ajang yang menggiurkan bagi elite partai untuk mendapatkan biaya politik.
Tak dapat dimungkiri bahwa penilaian terhadap calon legislator di lingkup internal partai juga menyertakan isu senioritas, loyalitas, dan skema kaderisasi. Namun, unsur adanya transaksi jual-beli kursi adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dari proses rekrutmen itu sendiri. Hal ini akan tampak nyata dari berbagai gejolak dan konflik internal partai manakala proses penentuan nomor urut memasuki tahap final.
Kekecewaan, sakit hati, dan marah dari para calon legislator dan pendukungnya sering kali bukan karena masalah yang dapat dinilai argumentasinya, melainkan lebih pada soal bahwa mereka telah mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit tapi mendapatkan nomor urut calon legislator yang rawan kalah. Ketergantungan pada nomor urut sekaligus juga menandakan tiadanya kesiapan para calon legislator untuk bertarung head to head*dengan rival mereka dalam suasana yang demokratis, kecuali hanya berlindung dan berharap dari raupan suara partai politik itu sendiri.
Setting aturan pemilu yang dibuat oleh DPR juga menunjukkan fenomena kuatnya oligarki dalam tubuh partai politik. Siapa pun yang waras pasti akan tidak setuju jika dalam waktu yang bersamaan ada calon legislator menyandang status tersangka atau terdakwa kasus korupsi, meski belum dijatuhi hukuman yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Persoalannya bukan pada asas praduga tak bersalah, melainkan dalam kompetisi politik yang menuntut ketatnya aspek moralitas dan kebersihan para pesertanya. Maka keterlibatan para calon legislator yang masih terkait dengan kasus hukum dengan sendirinya telah mengurangi esensi dari pemilihan pejabat publik itu sendiri (pemilu).
Bahwa kemudian partai politik tetap mempertahankan mereka yang dikategorikan bermasalah oleh publik, ini merupakan hal yang sangat mudah dijelaskan. Seperti kita tahu bahwa mereka yang saat ini diduga kuat terlibat dalam berbagai skandal suap merupakan bagian dari lapis atas di partai politik. Tentunya sangat mustahil jika elite partai menggusur dirinya sendiri karena masalah korupsi.
Karena itu, wajar jika bunyi atau aturan UU juga memberikan sedemikian rupa kemudahan dan ruang yang sangat longgar bagi calon legislator bermasalah untuk maju ke pertarungan pemilu. Berharap dari politikus itu sendiri pun sangat tidak mungkin. Sosok politikus elegan adalah hal yang sangat langka. Mundur dari pencalonan sebagai bentuk kesadaran bahwa dirinya tidak ingin mencemari pemilu merupakan sesuatu yang masih ajaib di Indonesia.
Dalam situasi yang demikian, mendobrak oligarki hanya dapat dilakukan oleh para pemilih yang kritis. Sepertinya harapan untuk mereformasi partai politik masih terbuka. Pemilu adalah ajang untuk mengevaluasi partai politik beserta calon legislatornya. Hancurnya suara dari para partai politik besar dalam berbagai pilkada sedikit banyak menunjukkan bahwa partai politik bermasalah akan kembali diberi pelajaran dalam Pemilu 2009.
Adnan Topan Husodo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 22 Oktober 2008