Pemilu, Partai, dan Rezim Korupsi
Menurut Transparency International Indonesia, negara kita menduduki peringkat keenam sebagai negara terkorup dari 133 negara di dunia. Tingkat korupsi di Indonesia ternyata jauh lebih buruk dari negara tetangga seperti Papua Nugini dan dan Vietnam, dan tidak jauh berbeda dengan prestasi Bangladesh dan Myanmar.
Yang menarik, hampir tidak ada pernyataan prihatin dari para pemimpin politik negeri ini atas realitas yang sangat memalukan tersebut. Juga, hampir tak upaya sistematis, jelas, dan terukur, baik dari pemerintah, DPR maupun lembaga peradilan untuk mengurangi tingkat korupsi. Presiden Megawati sendiri ironisnya selalu bersikap defensif dan cenderung reaktif apabila muncul kritik atas kegagalan pemerintahannya memberantas kejahatan korupsi.
Meskipun perundang-undangan untuk memberantas korupsi diciptakan dan diperbarui, dan lembaga-lembaga antikorupsi dibentuk--seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)--realitas korupsi justru makin meluas serta meningkat, kuantitas dan kualitasnya. Korupsi dibiarkan menjadi rahasia umum yang seolah-olah dimaklumi sebagai pergiliran kesempatan di antara mereka yang tengah berkuasa di semua tingkat birokrasi dan pemerintahan.
Pemilu dan korupsi
Secara resmi pemilihan umum menjanjikan perubahan serta pergantian elite yang berkuasa di semua tingkat pemerintahan, terutama legislatif dan eksekutif. Pemilu 2004 mendatang secara formal menjanjikan hal serupa pula. Namun, agaknya sulit dibayangkan bahwa pemilu kedua era reformasi tersebut bisa menjadi momentum pergantian para elite politik. Kalaupun terjadi sirkulasi elite, juga sulit bagi kita membayangkan bahwa para elite politik baru kelak dapat mengagendakan prioritas pemberantasan korupsi. Apalagi jelas, hampir tidak ada pertanda positif yang signifikan akan terwujudnya hal itu di balik kesibukan para politikus merebut dan mempertahankan kekuasaan mereka dewasa ini.
Persiapan dan proses pemilu yang berlangsung hingga saat ini lebih mengindikasikan momentum pemilu sebagai sirkulasi kesempatan berkuasa untuk korupsi ketimbang pergantian kepemimpinan ke arah yang lebih baik bagi bangsa kita. Perangkat perundang-undangan pemilu yang masih lemah dan membuka peluang bagi partai-partai untuk menggunakan politik uang, begitu pula Panitia Pengawas Pemilu yang tidak bergigi dan tidak adanya pengadilan khusus pelanggaran pemilu, jelas tidak menjanjikan pemilu yang bersih. Sementara itu, belum ada strategi dan kiat jitu dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengurangi kemungkinan berlangsungnya politik uang dalam pemilu mendatang.
Karena itu, sebelum kita membayangkan terbentuknya sebuah pemerintahan yang bersih produk pemilu, proses pemilu dewasa ini bisa menjadi ajang korupsi dalam berbagai bentuk bagi semua pihak yang terkait di dalamnya: partai-partai, para calon anggota legislatif, calon presiden dan wakil presiden, serta juga pelaksana pemilu (KPU, KPU Daerah, Panwas, dan Panwas Daerah). Mayoritas rakyat hampir selalu hanya menjadi pelengkap penderita yang suaranya diperebutkan oleh partai-partai dan para calon, aspirasi dan kepentingannya diatasnamakan, namun kemudian nasibnya dicampakkan setelah pesta demokrasi itu usai.
Partai, calon, dan korupsi
Di sisi lain, di tengah kesibukan partai-partai dan para calon anggota legislatif serta calon presiden dan wakil presiden mempersiapkan diri menyongsong Pemilu 2004, relatif belum muncul tawaran program politik alternatif yang jitu untuk memberantas korupsi. Paling kurang ada tiga kemungkinan buruk sehubungan dengan realitas tersebut. Pertama, partai-partai memang tidak pernah serius mengagendakan pemberatasan korupsi sebagai prioritas program mereka. Kedua, partai-partai dibentuk lebih untuk mewadahi kesempatan berkuasa dan kesempatan korupsi secara bergantian ketimbang mengangkat kehidupan rakyat. Ketiga, jangan-jangan kita memang belum memiliki partai dalam arti yang sebenarnya, melainkan lebih merupakan paguyuban atau perkoncoan para koruptor yang siap mengisap darah rakyatnya sendiri.
Sementara itu, dalam rangka memperoleh dukungan dalam konvensi, para calon presiden dari Golkar misalnya, konon justru berlomba-lomba membagikan gizi (baca: uang) untuk konstituen mereka di tingkat lokal. Disinyalir bahwa besar-kecilnya gizi yang disebarkan itu akan sangat menentukan peluang para calon untuk maju ke konvensi nasional. Sejumlah calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di beberapa daerah, terbukti melakukan korupsi dukungan melalui pemalsuan kartu tanda penduduk (KTP) dan tanda tangan agar bisa lolos dalam pencalonan. Beberapa partai yang gagal dalam verifikasi sebagai badan hukum di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia mengaku mengeluarkan sejumlah uang pelicin agar dimudahkan dalam proses verifikasi, kendati pengakuan itu dibantah pihak Depkeh dan HAM.
Apabila partai-partai dan para calon sudah mengeluarkan uang, atau sekurang-kurangnya telah belajar korupsi sejak proses awal pemilu, hampir bisa diduga bahwa mereka akan berusaha memperoleh kembali dana yang dikeluarkan itu ketika benar-benar berkuasa. Bagi para calon yang baru pada tahap belajar korupsi, tentu pelajaran itu akan dipraktekkan tatkala mereka memperoleh kesempatan menjadi penguasa pada tingkat apa pun. Tentu bisa dibayangkan apa yang dilakukan oleh partai-partai dan para calon yang telah berpengalaman korupsi jika mereka kembali berkuasa, bisa jadi melipatgandakan kejahatan korupsinya sehingga kerusakan bangsa kita menjadi sempurna.
Rezim korupsi
Lalu, bagaimana kita bisa membayangkan bahwa pemilu bisa menjadi momentum untuk mengakhiri era rezim korupsi?
Meskipun partai-partai merupakan lembaga demokrasi yang utama, kita sebagai bangsa mestinya tidak menyerahkan cek kosong kepada politikus partai untuk mengelola negara ini. Terlalu besar biaya dan risiko politik yang harus ditanggung bangsa ini apabila berbagai komponen masyarakat sipil (civil society), tidak peduli, apatis, dan cenderung membiarkan saja kebobrokan pengelolaan negara hanya kepada partai dan politikus partai.
Peta problematik bangsa kita yang begitu kompleks, terutama akibat kejahatan korupsi, membutuhkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat untuk ikut membenahinya. Kerja sama dan konsolidasi berbagai komponen masyarakat diperlukan agar partai-partai dan para politikus, bukan hanya agar mereka memiliki rasa malu memperkaya diri melalui korupsi, melainkan dalam rangka memaksa mereka lebih bertanggung jawab atas masa depan bangsa ini.
Dalam konteks Pemilu 2004 bentuk keterlibatan itu bisa mencakup, misalnya, penyebaran dan perluasan kesadaran tentang bahaya politik uang, bahaya korupsi, dan bahaya terbentuknya kembali rezim korupsi. Juga, penyebarluasan kesadaran publik bahwa musuh terbesar masyarakat kita dewasa ini adalah para koruptor yang mengisap darah rakyatnya sendiri.
Kalau tidak, barangkali hampir tak ada makna signifikan Pemilu 2004 kecuali sebagai momentum pergiliran kesempatan berkuasa untuk korupsi bagi partai-partai dan para politikusnya. Pun, jika masyarakat cenderung apatis saja, maka kita secara kolektif pada hakikatnya tengah mempersiapkan terbentuknya rezim korupsi yang baru, entah sebagai pengganti atau kelanjutan dari rezim korupsi yang ada dewasa ini. (Syamsuddin Haris, Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik, LIPI, Jakarta)
Tulisan ini diambil dari Kompas, Selasa, 14 Oktober 2003