Pemotong Dana Jadi Tersangka
Ketua kelompok masyarakat korban bencana gempa di Desa Sukarapih, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Abdul Ghani (55), akhirnya ditetapkan sebagai tersangka penyelewengan dana bantuan korban gempa.
Kepala Satuan Reskrim Kepolisian Resor (Polres) Tasikmalaya Ajun Komisaris Iman Imanudin, Rabu (12/1), mengatakan, dana bantuan korban gempa yang ditangani tersangka besarnya Rp 196.880.000. Dana tersebut mestinya dibagikan kepada 18 korban gempa. Namun, ternyata dipotong tersangka Rp 10 juta untuk kepentingan pribadi. ”Itu (pemotongan) merupakan tindak pidana. Tersangkanya sudah kami tahan,” katanya.
Iman menambahkan, pihaknya terus menyidik kasus ini karena diduga ada pihak lain yang terlibat. Jadi, jumlah tersangka masih mungkin bertambah.
Ghani, saat dimintai komentarnya, mengakui, pemotongan dana bantuan untuk korban gempa itu merupakan inisiatifnya. Tapi, ia enggan menjawab dugaan keterlibatan orang lain dalam kasus ini. ”Setahu saya, di pokmas (kelompok masyarakat) hanya saya sendiri yang memotong dana itu. Soal pembagian dana gempa untuk pihak-pihak lain, di luar korban gempa, silakan tanya kepada kepala desa,” katanya.
Penyelewengan dana bantuan korban gempa ini mencuat setelah Kepala Desa Sukarapih, Yana Suryana, mengungkapkan hal itu kepada warga beberapa hari lalu. Menurut Yana, dana bantuan tahap II bagi 18 korban gempa di Desa Sukarapih sebesar Rp 185 juta (tidak sama dengan yang disebutkan Iman, Rp 196.880.000) yang diterima tanggal 21 Desember 2010 sebagian besar telah diselewengkan. Hanya dua korban yang menerima, yakni Jaja (Rp 12 juta) dan Maman (Rp 7 juta).
Sebanyak Rp 77 juta dari dana tersebut dibagi-bagikan kepada oknum pejabat pemerintah dan oknum wartawan. Selain itu, ada yang digunakan untuk menutupi target pajak bumi bangunan (PBB) desa (Rp 17 juta), perbaikan komputer desa (Rp 5 juta), pembayaran beras untuk keluarga miskin (Rp 5 juta), dana kegiatan olahraga (Rp 1 juta), dan dana keagamaan (Rp 1 juta). Kini dana bantuan yang tersisa tinggal Rp 34 juta.
Aparat Setda Jateng
Di Boyolali, Jawa Tengah (Jateng), Kejaksaan Negeri (Kejari) Boyolali menyatakan sedang membidik pegawai negeri sipil (PNS) di Sekretariat Daerah (Setda) Jateng berinisial A. Ia diduga terlibat kasus pemotongan dana bantuan sosial (bansos) APBD Jateng 2010. PNS ini diduga memuluskan pengajuan proposal serta turut menikmati aliran dana hasil potongan dana bansos.
Menurut Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Boyolali, Prihatin, di Boyolali, nama A muncul dari pengakuan tersangka yang ditahan Kejari Boyolali, Senin lalu. Karena itu, dalam waktu dekat pihaknya akan meminta keterangan dari Biro Keuangan dan Biro Bina Mental Setda Jateng, untuk menggali ketentuan penyaluran dana bansos. ”Sebelum itu, kami akan terlebih dulu meminta keterangan dari kepala sekolah yang menerima bantuan tersebut,” tutur Prihatin.
Seperti diberitakan, Kejari Boyolali menahan tiga tersangka yang diduga terlibat pemotongan dana bansos APBD Jateng 2010. Ketiga tersangka itu adalah J (PNS yang juga kepala sekolah di salah satu madrasah ibtidaiyah/setara SD di Kecamatan Andong, Boyolali), dan karyawan swasta asal Semarang berinisial A serta W dari Karanganyar.
Dana bansos itu disalurkan untuk perbaikan ruang kelas di 27 madrasah ibtidaiyah (MI) dan raudhatul athfal (RA/setingkat TK), dengan nilai Rp 10 juta-Rp 50 juta per paket. Total dana yang dikucurkan Rp 942 juta, tapi separuhnya dipotong tersangka.
Dari keterangan ketiga tersangka, diketahui J berperan mencari sekolah penerima bantuan, W menjadi perantara J dengan A-yang meneruskannya ke oknum PNS di Setda Jateng.
Pemotongan dana bansos terjadi hampir di seluruh wilayah di Jateng. Untuk mengungkap kasus ini, sejak Februari 2009, Kejaksaan Tinggi Jateng menginstruksikan kepada seluruh kejari di Jateng untuk mengumpulkan bukti penyimpangan dana itu.
Hasilnya, antara lain, pada Mei 2009, kejaksaan menemukan keterlibatan anggota DPR dan DPRD Jateng dalam kasus dugaan penyalahgunaan dana bansos di Jateng. Modusnya, mereka bekerja sama dengan perantara untuk memotong dana bansos yang akan diserahkan kepada masyarakat. (Kompas, 7/5/2009)
Menurut Kepala Seksi Intelijen Kejari Ambarawa, Suyanto, penyaluran dana bansos memang rawan dimanfaatkan makelar. Ini karena tidak semua masyarakat memiliki akses dan informasi seputar dana bansos tersebut. Warga yang menerima juga permisif karena merasa sudah terbantu dan mendapat uang, kendati nominalnya berkurang 20 persen, bahkan lebih dari 50 persen.
”Dari kasus yang kami tangani, juga terlihat, pengawasan pelaksanaan penggunaan dana bansos itu belum berjalan,” ujar Prihatin. (ADH/GAL)
Sumber: Kompas, 13 Januari 2011