Penanganan Perkara Dinilai Janggal, ICW Desak KPK Lakukan Supervisi Kasus Hotel Indonesia

Antikorupsi.org, Jakarta, 20 April 2016 – Indonesia Corruption Watch mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi atas penanganan perkara dugaan korupsi di kawasan Hotel Indonesia. ICW menilai terdapat kejanggalan dalam penanganan perkara terkait pengembangan lahan itu.

Perkara tersebut telah ditangani oleh Kejaksaan Agung RI (Kejagung) dan telah ditingkatkan ke tingkat penyidikan. Namun, Kejagung belum menetapkan satu pun pelaku sebagai tersangka korupsi. “Kenaikan status penanganan perkara ke tahap penyidikan tanpa penetapan tersangka merupakan suatu hal yang tidak lazim,” ujar peneliti Hukum ICW Lalola Easter melalui pesan yang diterima Antikorupsi.org, Rabu 20 April 2016.

Perkara ini dianggap perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini dikarenakan potensi kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp. 1,29 Triliun. Selain itu, independensi Kejagung juga patut diragukan. Ini mengingat Jaksa Agung HM. Prasetyo merupakan politisi Partai Politik Nasional Demokrat (Nasdem).

“Posisi Jaksa Agung yang tidak independen sangat rentan dan membuka potensi adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu temasuk dari Partai atau Pimpinan Partai yang dapat mempengaruhi penanganan perkara.”

Terakhir, terdapat kekhawatiran proses hukum perkara dihentikan dan dialihkan ke proses perdata. Kekhawatiran tersebut dikarenakan Kejaksaan kerap menghentikan perkara korupsi kelas kakap yang dinilai kontroversial.

Atas itu, KPK didesak untuk melakukan supervisi atas penanganan perkara ini. KPK juga bahkan dapat mengambilalih kasus tersebut jika menengok Pasal 9 UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

https://ci6.googleusercontent.com/proxy/RnNZfQn2o2xpggJQqefCOervMbPIci5mujDPJnvl43kv6Rtxjyh5gHN_JKVzeU-aaGz3pePFgxfoAAtZJZNx8mveVTc-11j98EfuAJVcumUenA=s0-d-e1-ft#https://ssl.gstatic.com/ui/v1/icons/mail/images/cleardot.gif“Proses supervisi yang dilakukan oleh KPK sangat penting untuk memastikan atau mendorong agar Kejaksaan Agung tidak ‘main-main’ dalam penanganan perkara ini sehingga proses hukumnya bisa dituntaskan hingga ke tahap penuntutan,” tegas Lalola.

Perkara ini dimulai dari perjanjian kerjasama yang dibuat antara BUMN PT. Hotel Indonesia Natour (PT. HIN) dengan PT. Cipta Karya Bumi Indah (PT. CKBI) dan PT. Grand Indonesia (PT. GI). Kerjasama berhubungan dengan pengembangan lahan yang berada di kawasan Hotel Indonesia melalui perjanjian Build, Operate, dan Transfer (BOT).

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan terdapat potensi kerugian negara pada tahun 2015 lalu sebesar Rp. 1,296 Triliun. Kerugian itu dialami oleh PT. HIN menyusul kerjasama yang dijalin dengan PT. CKBI dan PT. GI. Temuan tersebut diantaranya menyatakan perjanjian BOT tidak sesuai dengan perencanaan awal.

Kejagung lalu menindaklanjuti temuan BPK tersebut. Hasil penelusuran Kejagung menyatakan terdapat unsur pidana dalam pelaksanaan kontrak pembangunan kompleks di Kawasan Hotel Indonesia.

Pada tanggal 23 Februari 2016 lalu, Kejagung telah meningkatkan status perkara ini dari penyelidikan ke penyidikan. Sejumlah saksi telah dipanggil terkait perkara tersebut, diantaranya Laksamana Sukardi (mantan Menteri BUMN), Edwin Hidayat Abdullah (Deputi Bidang Energi, Logistik, Kawasan dan Pariwisata di Kementrian BUMN, Fransiskus (Direktur Utama PT. Grand Indonesia) dan Johanies (Direktur Utama PT. Cipta Karya Bumi Indah).

(Egi)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan