Penangkapan Pengacara Puteh
Kasus yang menimpa Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (non-aktif) Abdullah Puteh tidak pernah berhenti menyita perhatian publik. Rabu (15/6), Tengku Syaifuddin Popon, salah seorang kuasa hukum Puteh, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Penangkapan dilakukan saat Popon sedang melakukan transaksi dengan Wakil Ketua Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Syamsu Rizal Ramadhan.
Berdasarkan keterangan KPK, Popon dan Ramadhan tertangkap tangan sedang melakukan transaksi pemberian uang sebesar Rp 250 juta. Saat tulisan ini diselesaikan, Popon dan Ramadhan (termasuk seorang panitera lainnya yang diduga terkait transaksi itu) masih diperiksa secara intensif oleh penyidik KPK. Yang pasti, dalam proses penangkapan tersebut penyidik KPK menemukan kedua orang itu beserta tas berisi uang di laci meja Ramadhan (Kompas, 16/6).
Lalu, apa yang bisa dijelaskan dari penangkapan yang dilakukan KPK terhadap pengacara Puteh dan seorang panitera di PT Jakarta itu? Sudah begitu burukkah wajah dunia peradilan kita?
KETIKA mengetahui bahwa penyidik KPK menangkap transaksi yang terjadi di ruang panitera PT Jakarta, saya kembali berdecak kagum atas upaya KPK mengungkap permainan uang dalam proses penegakan hukum. Capaian di gedung PT Jakarta itu dapat dikatakan mengulang success story KPK saat menangkap upaya penyuapan yang dilakukan Mulyana W Kusumah terhadap salah seorang auditor BPK dalam kasus korupsi yang terjadi di KPU. Fakta ini kembali menepis sikap skeptis publik terhadap kinerja KPK selama ini. Setelah beberapa anggota KPU ditahan, kini giliran aktor-aktor di balik dinding peradilan dibidik KPK.
Namun, catatan penting yang akan dikemukakan dalam tulisan ini bukan pada keberhasilan KPK, tetapi lebih kepada praktik permainan uang yang terjadi dalam proses penyelesaian perkara yang dilakukan penegak hukum. Sudah menjadi rahasia umum, dalam penyelesaian sebuah perkara, permainan uang dapat dikatakan terjadi dari hulu hingga hilir. Tegasnya, jual-beli hukum sudah terjadi sejak dari proses penyelidikan sampai ke tahap pelaksanaan putusan hakim.
Misalnya, dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, permainan uang sering mengalahkan logika dan rasa keadilan masyarakat. Banyak kasus yang sudah seharusnya dilimpahkan ke pengadilan, tetapi karena ada permainan uang, kasus itu dihentikan penyidikannya. Alasan yang sering dikemukakan, tidak terdapat cukup bukti untuk melimpahkan perkara ke pengadilan. Padahal, dalam proses-proses awal, penyidik sudah menahan tersangka. Logikanya, jika dilakukan penahanan, penyidik sudah punya keyakinan kuat bahwa tersangka memang melakukan tindak pidana.
Dalam pengungkapan kasus korupsi, logika-logika hukum bisa jungkir balik karena adanya faktor uang yang mengiringi perjalanan kasus. Sudah menjadi rahasia umum, penanganan kasus korupsi justru membuka ruang terjadinya praktik korupsi baru. Laporan masyarakat atas indikasi korupsi tidak jarang digunakan sebagai lahan untuk melakukan pemerasan.
Penyidik, yang biasanya amat galak di tahap-tahap awal terkuaknya sebuah kasus, tiba-tiba merasa kekurangan bukti untuk meneruskan kasus ke meja hijau. Kegalakan itu bisa dimengerti karena penyidik menunggu setoran lebih dulu sebelum mempertimbangkan melanjutkan atau tidak melanjutkan sebuah kasus. Terkait soal ini, menarik menyimak pandangan Prof Machfud MD (2005), orang-orang yang terindikasi melakukan korupsi sering dijadikan sebagai automated teller machine (ATM) bagi aparat penegak hukum.
Kasus yang sampai ke pengadilan, pola permainan uang bisa jauh lebih rumit. Kerumitan muncul karena pihak yang terkait penanganan perkara di pengadilan lebih banyak dibandingkan dengan di tingkat penyidikan seperti pengacara, jaksa, panitera, dan hakim. Bagi pengacara yang punya kontak langsung dengan hakim, persoalan bisa menjadi lebih mudah karena pengacara bisa merundingkan vonis yang akan dijatuhkan tanpa perlu menghiraukan tuntutan jaksa. Beberapa kasus membuktikan, meski jaksa menuntut maksimal, hakim dapat saja membebaskan terdakwa.
Berbeda halnya dengan pengacara yang tidak mempunyai kontak langsung dengan hakim, diperlukan pihak ketiga untuk menghubungi hakim. Biasanya, peran pihak ketiga lebih praktis dan aman dilakukan panitera. Inisiatif mempertemukan atau menyambungkan komunikasi antara hakim dan pengacara bisa datang dari hakim sendiri, bisa pula dari pengacara terdakwa, namun tidak tertutup kemungkinan berasal dari panitera sendiri. Dari penjelasan itu, panitera bisa memainkan peran penting dalam proses suap-menyuap di pengadilan.
Tidak hanya itu, peran panitera dalam suatu perkara begitu luar biasa sehingga menyebabkan para pengacara tidak perlu susah-susah bekerja. Misalnya, dari informasi mereka yang biasa berpraktik di pengadilan atau pemantau peradilan, panitera kerap membuatkan jawaban untuk proses persidangan bagi pengacara. Dengan mengerti betul isi kepala hakim-dalam banyak kasus paniteralah sebenarnya yang mengerjakan draf pertimbangan hukum putusan-amat mudah bagi panitera untuk menyusun suatu jawaban yang dapat diterima logika hakim. Dalam posisi demikian, bagi pengacara, memegang panitera tidak hanya bisa memegang seorang hakim, tetapi juga bisa memegang seluruh hakim yang menangani perkara.
Dalam hal tertangkap tangannya pengacara Puteh, terlihat interaksi yang jelas antara pengacara dan panitera. Sulit untuk dibantah bahwa transaksi antara Popon dan Ramadhan tidak terkait proses kasasi kasus Puteh. Apalagi, beberapa waktu lalu PT Jakarta mengubah status tahanan Puteh dari rumah tahanan negara menjadi tahanan kota. Banyak pendapat mengatakan, perubahan status itu mungkin ditentukan faktor nonhukum.
BERDASARKAN penjelasan itu, kelihatan bahwa wajah peradilan kita begitu buram. Kendati demikian, optimisme tetap harus dipelihara. Saya percaya, tentu tidak semua aparat hukum kita korup. Masih banyak polisi, jaksa, pengacara, panitera, dan hakim yang baik.
Setidaknya, langkah yang dilakukan KPK menyisakan harapan untuk tetap berjuang membenahi dunia peradilan.
* Saldi Isra Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang; Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia
Tulisan ini diambil dari Kompas, 17 Juni 2005