Penangkapan terhadap AN; Implikasi Konstruktif bagi DPR
Haruskah publik kaget? Barangkali, itulah pertanyaan yang layak kita lontarkan sejalan dengan keberhasilan Komisi Pemberanatsan Korupsi (KPK) menangkap Amin Nasution (AN), anggota DPR dari FPPP, di area parkir Ritz Hotel, sekitar pukul 01.40 Rabu, 9 April.
Haruskah publik kaget? Barangkali, itulah pertanyaan yang layak kita lontarkan sejalan dengan keberhasilan Komisi Pemberanatsan Korupsi (KPK) menangkap Amin Nasution (AN), anggota DPR dari FPPP, di area parkir Ritz Hotel, sekitar pukul 01.40 Rabu, 9 April.
Sebagian publik memang kaget dan harus tercengang karena peristiwa yang sesungguhnya -secara moral- memalukan. Landasannya, sebagai lembaga terhormat, seharusnya siapa pun yang ada di parlemen (wakil rakyat) itu tak pantas melakukan tindakan kejahatan korupsi meski hanya menerima kompensasi (terima kasih) dari pihak-pihak yang merasa diperjuangkan kepentingannya. Sumpah jabatannya ketika dilantik sebagai wakil rakyat cukup tegas: di antaranya, tidak menerima imbalan apa pun dari pihak lain atas pekerjaannya, termasuk suap, meski berdalih ucapan terima kasih.
Apa yang terjadi pada diri AN tidak hanya memalukan dan melanggar sumpah jabatannya. Tapi, mengundang tanya lebih jauh: apa motivasi sang politisi berusaha sampai ke tengah Senayan? Jika memang terpanggil untuk rakyat dan daerah -terutama yang diwakilinya- mengapa harus menerima, apalagi meminta kompensasi?
Realitas sebagian anggota dan atau pimpinan dewan yang menerima dan atau meminta jasa menunjukkan motivasi pribadi mereka yang sesungguhnya tidak ingin berbuat sesuatu untuk rakyatnya, apalagi untuk daerah dan atau negara. Mereka terpanggil ke panggung politik dan sampai ke parlemen untuk mencari dan meraup kesempatan, tanpa mempertimbangkan implikasinya yang jelas-jelas destruktif bagi kepentingan bangsa-negara.
Apa yang terjadi pada diri AN -jika kita jujur- sesungguhnya sudah sekian lama melanda dalam tubuh DPR. Membuka kembali hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang diumumkan pada 6 Desember 2007 pada acara Peluncuran Barometer Korupsi Global 2007, parlemen -selain kepolisian, peradilan, dan partai politik- termasuk lembaga-lembaga yang terkorup di Indonesia.
Indeks korupsi di lembaga kepolisian tertinggi: mencapai 4,2. Lembaga peradilan dan parlemen berindeks 4,1, sedaangkan partai politik 4,0. Dari hasil survei TII yang mengambil responden 1.010 dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya itu, maka peristiwa AN -sesungguhnya- biasa saja dan karena itu tak perlu kaget.
Meski demikian, kita memang layak kaget ketika melihat kesigapan KPK dalam menindak siapa pun yang melakukan kejahatan yang bernuansa korup. Yang perlu kita apresiasi bukan hanya keberhasilan menguntit AN sejak November tahun lalu, tapi komitmen kuatnya untuk memberantas korupsi, siapa pun orangnya, termasuk mereka yang bersarang di lembaga terhormat itu.
Kita perlu mencatat, pada zaman Orde Baru bahkan sampai pada Orde Reforamsi (sebelum KPK eksis), perburuan terhadap koruptor yang berstatus orang dewan tak pernah terjadi. Akibatnya, persekongkolan orang (oknum) dewan dengan pihak lain (lembaga pemerintah) dalam hal alokasi anggaran atau kepentingan lainnya demikian merajalela.
Kini, KPK telah bertindak. Yang perlu kita catat, ada hikmah besar di balik penangkapannya terhadap AN. Yaitu, membangun kesadaran baru bagi orang-orang dewan untuk tidak mencoba-coba berkolusi-korupsi. Jika ia tidak segera meninggalkan praktik negatif-destruktif dan jahat itu, siap-siaplah menghadapi sejumlah sanksi, dalam kaitan hukum itu sendiri (penjara), sanksi sosial (diri dan keluarganya malu), bahkan akan segera habis karir politiknya.
Mungkinkah kesadaran konstruktif itu akan segera lahir? Relatif masih kita ragukan. Landasannya, jumlah aparatur KPK sangat terbatas jika dibandingkan dengan orang-orang parlemen, di pusat ataupun daerah. Yang bersekutu dengan parlemen pun tidak hanya pemerintah pusat dan pemda, tapi juga lainnya, termasuk instansi-instansi negara dan swasta. Maka, jika para oknum dewan masih tetap haus dengan korupsi, KPK akan kewalahan.
Karena itu, pendekatannya janganlah totalitas membantai, tapi sistem survei (random). Meski terkesan tebang pilih, tapi tindakan tegasnya akan membuat shock therapy. Dalam hal ini -tidak bermaksud mengajari- KPK perlu dan harus mampu pasang telinga dan daya intai terhadap orang-orang dewan yang dekat dengan anggaran.
Sejumlah hotel di Jakarta atau kota-kota besar lainnya bisa diajak kerja sama untuk memantau gelagat kolusi birokrat-dewan. Untuk memperkuat gugus kekuatan, ada baiknya KPK bersinergi dengan berbagai komunitas, terutama yang antikorupsi.
Sangat boleh jadi, KPK akan gigit jari dalam memburu para makhluk kolutor itu. Di atas kertas, mereka yang berkolusi tak memberi kompensasi sedikit pun. Tapi, cobalah cermati sejumlah kompensasi yang tak langsung: pemda atau para pihak yang pernah ditolong itu akan memberi jatah dalam bentuk proyek-proyek tertentu kepada orang dewan. Yang akan tampil dalam proyek itu pun bukan orang dewan itu sendiri, tapi orang-orang onderbow-nya. Inilah fakta di lapangan yang harus dipantau dengan jeli oleh KPK dan sejumlah gugus kekuatannya.
Karena itu, pendekatan analisis yang perlu dikembangkan KPK adalah mencermati alokasi anggaran yang muncul di APBN dari masing-masing daerah dan atau instansi. Adakah hubungan kompensasional di balik angka alokasi angaran itu? Bagaimana mencermati spirit anggota dan atau pimpinan dewan dalam memperjuangkan anggaran untuk sejumlah pihak? Di sana akan terlihat, mana politisi yang murni berjuang untuk rakyat dan daerah pemilihannya dan mana yang kompensasional.
Agus Wahid, staf ahli anggota DPR di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 14 April 2008