Pencegahan Korupsi di Lembaga Peradilan
Lembaga peradilan merupakan benteng terakhir keadilan. Namun ada satu persoalan yang mencederai nilai keadilan yaitu praktik korupsi yang hingga saat ini masih belum sepenuhnya dapat dituntaskan.
Praktik korupsi dapat menjungkir balikkan nilai keadilan dan putusanputusan yang dipengaruhi praktik korupsi akan merusak sendisendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga peradilan,sebagaimana lembaga lain, tentu saja harus bebas dari korupsi. Dengan peradilan yang bebas dari korupsi diharapkan lembaga peradilan mampu menjadi lokomotif upaya pemberantasan korupsi secara nasional.
Pencegahan korupsi perlu mendapatkan prioritas untuk menjadikan lembaga peradilan sebagai island of integrity yang dipercaya oleh masyarakat. Sebab, begitu terungkap adanya praktik korupsi di lembaga peradilan, kepercayaan masyarakat pun turun, bahkan hilang. Kita akan menghadapi problem yang lebih besar dan kompleks ketika masyarakat tidak lagi menaruh kepercayaan kepada satu pun lembaga negara.
Tulisan ini hendak menyajikan pengalaman dan praktik upaya pencegahan korupsi di Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya di lingkungan Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa potensi korupsi tidak hanya pada hakim, tetapi sesungguhnya potensi itu lebih besar ada pada aparat dan organisasi sekretariat jenderal dan kepaniteraan sebagai supporting.
Court Values
Lembaga adalah organisasi yang dijalankan oleh aparat sesuai tugas dan fungsi yang melekat pada jabatannya.Karena itu kunci pertama pencegahan korupsi di lembaga peradilan adalah pada sumber daya manusia (SDM). Faktor yang menentukan perilaku manusia dan selanjutnya akan membentuk budaya adalah nilai yang diyakini kebenarannya.
Pada titik ini pengembangan nilai bersama dan proses internalisasi menjadi sangat penting untuk menuntut sekaligus mengontrol perilaku dan budaya organisasi lembaga peradilan (court values). Setiap orang tentu memiliki nilai-nilai bawaan individual. Namun ketika masuk dalam lembaga peradilan, tentu nilai organisasilah, yaitu keadilan, yang harus mendominasi atau bahkan mengubah nilai individual.
Selain itu dalam pengelolaan lembaga peradilan modern juga dituntut untuk mengimplementasikan prinsip- prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance): transparency, fairness, impartiality, independency, dan accountability. Transparency adalah keterbukaan agar masyarakat dapat mengetahui dengan baik bagaimana proses peradilan harus dilakukan, perjalanan perkara yang sedang disidangkan, proses persidangan itu sendiri, serta putusan peradilan itu sendiri.
Fairness diimplementasikan dengan memperlakukan setiap orang sama di hadapan hukum, baik dari sisi pemberian informasi, respons, waktu,maupun biaya dalam setiap proses yang harus dilalui. Impartiality adalah ketidakberpihakan terkait dengan proses persidangan maupun pelayanan perkara tidak berdasarkan kedekatan, kekuasaan, kekayaan, ataupun pertimbangan mayoritas-minoritas, tetapi harus sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk dapat menjalankan tugas berdasarkan prinsip fairness dan impartiality, lembaga peradilan harus menegaskan posisi sebagai lembaga yang merdeka atau independency dalam menjalankan fungsi peradilan tanpa menghilangkan keharusan pertanggungjawaban lembaga peradilan sesuai dengan prinsip accountability.
Pada saat nilai-nilai itu sudah terinternalisasi dan menyatu dalam tindakan setiap pegawai, maka dengan sendirinya telah menjadi sumber sekaligus bagian dari budaya organisasi yang dikembangkan.
Selain itu, nilai-nilai tersebut harus tercermin dalam pengaturan kelembagaan, serta mewujud dalam peraturan dan kode etik serta pedoman perilaku (code of ethics and code of conducts) sebagai sarana kontrol untuk mencegah penyimpangan perilaku yang ditegakkan secara konsisten untuk menciptakan efek jera.
Berbagai Upaya
Untuk melakukan pencegahan korupsi, organisasi kelembagaan peradilan disusun dengan memperhatikan ketatalaksanaan yang menekankan pada prinsip kerja sama serta saling mengawasi dan mengimbangi antarunit kerja. Karena itu distribusi kewenangandilakukan secara berimbang.
Keberadaan aparat pengawas internal dibutuhkan untuk memastikan berjalannya rantai fungsional itu tanpa ada penyalahgunaan kewenangan. Agar pengaturan kelembagaan dan ketatalaksanaan tersebut dapat diterapkan tanpa menimbulkan “birokratisasi” dibuat pengaturan mekanisme kerja yang jelas dan detail dalam bentuk standard operating procedure (SOP) disertai dengan target berupa standar pelayanan minimal (SPM).
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi,baik secara internal maupun eksternal juga merupakan prasyarat penting untuk mendukung proses administrasi peradilan secara murah, cepat, tepat, dan transparan.Dengan kecepatan,ketepatan,dan transparansi dengan sendirinya potensi korupsi dapat diperkecil.
Kemudian sistem informasi online dapat mencegah adanya interaksi individual langsung antara pihak luar dengan pegawai lembaga peradilan yang sering kali menjadi awal dari praktik korupsi. Upaya pencegahan korupsi di lembaga peradilan tentu tidak dapat dilakukan oleh lembaga peradilan itu sendiri, tetapi harus didukung oleh seluruh masyarakat, terutama pihak-pihak yang berhubungan dengan lembaga peradilan.
Setidaknya masyarakat dan pihak lain yang berhubungan dengan lembaga peradilan harus mengawasi serta tidak mencoba-coba mengajak aparat lembaga peradilan melakukan tindakan korupsi dengan berbagai macam bentuknya.
JANEDJRI M GAFFAR Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 25 Oktober 2011