Pencopotan Urip Sedang Diproses
Pada saat KPK memeriksa Ayin dan jaksa Urip kemarin (10/3), di Kejaksaan Agung juga dilakukan pengusutan internal. Yang diperiksa di Kejagung adalah para atasan Urip, yakni Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya dan Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus M. Salim. Mereka diperiksa Tim JAM Pengawasan.
Tim pemeriksa internal mencecar sejumlah pertanyaan kepada Kemas dan Salim seputar pelanggaran disiplin atas kasus dugaan suap Rp 6 miliar yang diterima jaksa Urip Tri Gunawan. Ikut pula diperiksa tiga jaksa penyelidik BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang merupakan anak buah Urip. Mereka adalah Amran Lakoni, Ade Prabowo, dan Pauline Sitanggang. Tujuh anak buah Urip lainnya akan diperiksa mulai pagi ini (11/3).
Kemas diperiksa lima jam oleh JAM Pengawasan M.S. Rahardjo dan Sekretaris JAM Pengawasan Holius Husen. Salim diinterogasi Inspektur Pidana Khusus dan Perdata Tata Usaha Negara (Datun) pada JAM Pengawasan Darmono. Tiga jaksa kasus BLBI dicecar pertanyaan oleh tim jaksa yang beranggota Amandra, Junaidi, dan Sugeng.
Rahardjo mengatakan, Kemas dkk dimintai keterangan seputar perbuatan Urip, khususnya dikaitkan dengan pelanggaran disiplin sesuai PP No 30 Tahun 1980. Hasil dan fakta-fakta masih dievaluasi. Saya harus lapor dulu ke jaksa agung setelah selesai pemeriksaan, kata Rahardjo sebelum meninggalkan gedung Kejagung kemarin pukul 18.45.
Ditanya apakah Kemas dan Salim dianggap bertanggung jawab atas perbuatan Urip, Rahardjo lagi-lagi menolak menjawab. Saya harus laporan dulu ke jaksa agung. Semua putusan akan dibahas dalam rapim (rapat pimpinan), jelas mantan kepala Kejati Jawa Timur itu. Sebelumnya, Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan, apabila terbukti terlibat kasus Urip, Kemas dkk dapat dijatuhi hukuman, mulai pencopotan, penurunan pangkat/gaji, hingga sanksi ringan berupa teguran.
Rahardjo juga menjelaskan rencana pemeriksaan Artalyta Suryani alias Ayin. Menurut Rahardjo, kejaksaan belum mendapatkan keterangan perempuan yang disebut-sebut dekat dengan bos BDNI Sjamsul Nursalim itu. Tim jaksa masih menunggu selesainya proses penyidikan KPK. Soal isi rekaman (pembicaraan Urip dan Artalyta), kami belum memiliki. Kami usahakan (minta) ke KPK, tetapi belum dapat, ujar Rahardjo. Tim jaksa juga belum memperoleh informasi rekaman tersebut ke JAM Intelijen.
Seusai diperiksa, Kemas mengaku telah memberikan keterangan seputar pengendalian disiplin terhadap jajarannya. Bagaimana hasilnya (pemeriksaan) akan dijelaskan JAM Pengawasan, ujar Kemas.
Ditanya rencana pemeriksaan oleh KPK, Kemas mengaku belum mendapatkan surat panggilan. Meski demikian, mantan kepala Kejati Jambi itu siap menjalani pemeriksaan. Kalau ada (pemeriksaan), ya siap saja. Ini kan agar kasusnya menjadi klir, jawab Kemas.
Salim hingga selesainya pemeriksaan tidak menampakkan batang hidungnya. Salim keluar dari ruang pemeriksaan melalui pintu yang tidak ditunggu wartawan. Saat menuju ke ruang kerja di Gedung Bundar, mantan kepala Kejari Jakarta Utara itu lewat pintu belakang.
Status Jaksa Urip Dicopot
Pada bagian lain, Rahardjo menegaskan, jaksa agung sedang memproses pemberhentian sementara terhadap Urip. Usul pemberhentian itu berdasar status Urip sebagai tersangka dan tahanan KPK setelah tertangkap tangan menerima duit USD 660 ribu dari Artalyta Suryani di rumah Sjamsul Nursalim.
Menurut Rahardjo, kejaksaan menerima surat penangkapan dan penahanan sebagai materi untuk memproses pemberhentian sementara status Urip sebagai jaksa. Surat tersebut (penangkapan dan penahanan) diserahkan ke jaksa agung, jelas Rahardjo. Ditanya kapan selesainya usul pencopotan sementara Urip, Rahardjo menjawab secepatnya.
Pada bagian lain, Hendarman menolak mengundurkan diri dari jabatannya terkait dengan kasus penangkapan Urip. Mantan JAM Pidsus itu balik bertanya ketika para wartawan menanyakan desakan pengunduran diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kegagalannya mengendalikan anak buah. Apa menyelesaikan masalah kalau saya mengundurkan diri. Kan nggak? ujar Hendarman di gedung Kejagung kemarin. (agm/tof)
Sumber: Jawa Pos, 11 Maret 2008