Pendidikan Antikorupsi Hal yang Niscaya
Satu per satu pejabat negara diseret ke meja hijau. Mulai anggota dewan di tingkat pusat hingga daerah, mantan anggota dewan di tingkat pusat hingga daerah, pejabat tinggi Bank Indonesia (BI), mantan pejabat tinggi BI, pejabat tinggi Kejaksaan Agung (Kejagung), dan seterusnya. Sebab, mereka terlibat kasus korupsi. Telah menghabiskan uang negara demi kepentingan pribadi maupun golongan. Merugikan negara.
Yang terbaru, Menteri Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta dan Menteri Kehutanan M.S. Kaban yang sebelumnya menjadi anggota dewan periode 1999-2004 juga ikut masuk dalam daftar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka terindikasi turut menerima dan menikmati dana Bank Indonesia (Jawa Pos, 2 Agustus 2008).
Pertanyaannya, bagaimana mengupayakan agar korupsi di negeri ini bisa hilang? Semua pejabat negara, mulai tingkat pusat hingga daerah, tidak berani mengorupsi uang negara. Yang jelas, mengandalkan peran KPK untuk memburu koruptor sangatlah tidak cukup. Sebab, KPK hanya mampu memejahijaukan yang sudah terindikasi. Selebihnya sangat tidak mungkin, ibarat menegakkan benang basah.
Yang pasti, persoalan korupsi bukanlah masalah yang terkait dengan praksis korupsi itu, melainkan mentalitas buruk yang telah membentuk kebiasaan para pejabat negara terbiasa mengorupsi uang negara.
Menurut UU No 20/2001 jo UU No 31/1999, korupsi dilakukan karena dua hal. Pertama, terpaksa karena tidak memiliki uang untuk memperpanjang hidup, sehingga mengorupsi menjadi jalan alternatif yang harus dilakoni.
Kedua, serakah dan keserakahan. Namun, bila disebutkan bahwa pejabat negara di negeri ini tidak cukup dengan gaji yang bernilai puluhan juta rupiah atau ratusan juta rupiah yang didapat dari negara untuk keberlangsungan hidupnya seperti makan dan minum, menafkahi anak dan istri, serta kebutuhan lain, hal tersebut sangat tidak rasional.
Karena itu, alasan kedua sangat tepat dijadikan tesis utama bahwa mereka mengorupsi karena serakah, tamak, merasa tidak cukup, kendati sudah hidup berkecukupan atau sangat lebih dari cukup dibanding rakyat di negeri ini yang hidup kesusahan dan kelaparan.
Ketika ditemukan satu benang merah bahwa persoalan korupsi terletak pada mentalitas serakah dan tamak, menjadi sebuah keniscayaan bila penanganannya pun melalui penyembuhan mentalitas buruk tersebut.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, diperlukan satu undang-undang khusus yang mengatur sanksi tegas, yakni hukuman mati bagi pelaku korupsi. Hal tersebut harus ditopang sistem pelaksanaan yang jelas, rapi, serta dilakukan secara profesional. Itu penting dibuat supaya para pejabat takut mengorupsi uang negara. UU tersebut juga ditujukan supaya pejabat negara tidak berani mempermainkan hukum seenaknya sendiri.
Realitas membuktikan, ketika berada di pengadilan, pelaku korupsi selalu berkelit dengan berbagai alasan. Karena itu, pada akhir permainannya, mereka hanya dijerat hukuman sangat pendek, sebut saja lima atau lebih sedikit (baca realitas).
Kondisi tersebut sangat berbeda jauh dibanding seorang maling yang mencuri ayam, sapi, atau kambing yang berstatus kelas teri. Terkadang, hukuman mereka bisa berpuluh-puluh tahun, melebihi koruptor kelas kakap. Itu sungguh ironis.
Kedua, bagi anak-anak negeri (peserta didik) yang masih duduk di bangku sekolah dasar hingga tingkat atas maupun tingkat perguruan tinggi, dibutuhkan satu materi pelajaran khusus yang mengajarkan pendidikan antikorupsi dan segala akibat buruknya. Baik bagi bangsa, masyarakat, maupun diri sendiri.
Namun, materi tersebut jangan menggunakan pendekatan teologis normatif bahwa bila berkorupsi akan masuk neraka, dosa, dan lain seterusnya. Penjelasannya harus masuk akal, bisa diterima akal sehat, mampu menggugah naluri sosial peserta didik untuk ikut bertanggung jawab menjaga segala aset bangsa. Tentunya, pendidiknya juga harus orang-orang yang bisa berpikir rasional, memiliki cakrawala luas, menguasai materi secara sempurna, dan tidak mengandalkan teks an sich.
Perbedaan Pendekatan
Perbedaan pendidikan antikorupsi untuk kalangan pejabat dengan anak-anak bangsa yang masih menimba pendidikan terletak pada pendekatannya saja. Bagi para pejabat, pendekatan melalui pendekatan hukum untuk mendidik mereka supaya tidak berani (takut) berkorupsi. Pendekatan normatif namun berdampak positif edukatif bagi pembentukan perilaku serta tindakan para pejabat untuk jauh dari dan menjauhi korupsi.
Hal tersebut digunakan sebagai cambuk keras dan peringatan tegas bagi semua pejabat yang akan berkorupsi agar mau berpikir seribu kali untuk melakukan tindakan koruptif.
Bagi anak-anak negeri yang masih menimba pendidikan, pendekatan diarahkan pada pembentukan moralitas serta penguatan kesadaran sosial, termasuk pembentukan mentalitas dan karakter yang bersih dari perilaku dan tindakan koruptif. Dengan demikian, ketika menjadi pejabat kelak di kemudian hari, mereka tidak melakukan korupsi. Mereka menjadi pejabat yang betul-betul bekerja untuk rakyat (pamong praja). Menggunakan uang negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa.
Moh. Yamin, pendidik, aktivis Freedom Institute for Social Reform (FISoR) Malang
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Agustus 2008