Pendidikan 'Kepala Batu'

Pernyataan cukup mengejutkan dilontarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo. Menanggapi kritik atas pelaksanaan Ujian Nasional dan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional, mantan Menteri Keuangan tersebut tidak keberatan dianggap kepala batu. Menurut dia, beragam biaya yang dikeluarkan orang tua dianggap sebagai wujud kepedulian terhadap pendidikan anak (Koran Tempo, 7 April).

Pernyataan cukup mengejutkan dilontarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo. Menanggapi kritik atas pelaksanaan Ujian Nasional dan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional, mantan Menteri Keuangan tersebut tidak keberatan dianggap kepala batu. Menurut dia, beragam biaya yang dikeluarkan orang tua dianggap sebagai wujud kepedulian terhadap pendidikan anak (Koran Tempo, 7 April).

Di tengah upaya pemerintah mendorong reformasi birokrasi dan perbaikan pelayanan kepada warga, pernyataan Menteri Pendidikan terdengar aneh. Paradigma lama--ala Orde Baru--yang menempatkan warga sebagai obyek sekaligus korban kebijakan telah mulai ditinggalkan, karena terbukti dengan jelas menjadi biang keladi tenggelamnya Indonesia ke dalam krisis.

Agenda yang terus didengungkan pemerintahan pasca-reformasi adalah menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Menyediakan pelayanan bermutu bagi warga tidak hanya dengan meningkatkan kemampuan profesional birokrasi. Hal yang juga tak kalah penting adalah membuka ruang bagi warga untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan sekaligus mengontrol pelaksanaannya.

Sebagai negara yang mengklaim diri demokratis, pelibatan warga merupakan kunci penting dalam setiap pembuatan kebijakan. Sebab, hal itu merupakan salah satu cara efektif untuk menampung dan mengakomodasi berbagai kepentingan yang beragam sekaligus menjadi syarat penting dalam upaya pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Lijan Poltak Sinambela: 2006).

Karena itu, pernyataan Menteri Pendidikan jelas bertolak belakang dengan semangat reformasi. Komitmen pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, yang akan menjadikan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas sebagai dasar dalam setiap pembuatan dan implementasi kebijakan, ternyata tidak berlaku di Departemen Pendidikan. Jangankan memberi ruang partisipasi, mendengar kritik pun Menteri tidak bersedia.

Sengaja ataupun tidak, sikap Menteri Pendidikan dapat melukai perasaan warga. Padahal, sebagai mantan Menteri Keuangan, Bambang Sudibyo pasti mengetahui bahwa wargalah yang membiayai seluruh kebijakan pemerintah, termasuk program-program di sektor pendidikan. Mereka pula yang secara langsung akan terkena dampak kebijakan yang digulirkan pemerintah.

Pada sisi lain, perilaku Menteri Pendidikan yang cenderung antikritik dapat menghambat perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan nasional. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, menutup ruang kritik dari warga berarti menutup pula aliran informasi penting bagi departemen pendidikan.

Berkaca dari beberapa kebijakan Departemen Pendidikan yang mengabaikan suara warga, selain tidak bermakna dan menghabiskan banyak biaya, kerap menyulut kontroversi. Rencana strategis pendidikan 2005-2008, ujian nasional, serta program voucher pendidikan dapat dijadikan sebagai contoh. Departemen pendidikan terus-menerus dikecam bahkan ditekan agar menganulir kebijakan.

Warga merupakan pihak yang paling mengetahui kebutuhan dan masalah dalam penyelenggaraan pendidikan. Kritik dari mereka merupakan peluit pertanda ada masalah dalam kebijakan. Mengabaikan kritik sama artinya dengan mengabaikan ancaman bahaya. Karena itu, Menteri Pendidikan semestinya tidak alergi pada kritik, tapi justru menjadikannya sebagai kebutuhan penting.

Warga memiliki kepentingan atas perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Karena itu, sekeras apa pun kritik dari mereka tidak ditujukan untuk merusak pendidikan. Sudah saatnya Departemen Pendidikan meninggalkan kebiasaan lama yang lebih senang mengeluarkan banyak uang untuk menyewa konsultan, daripada menyediakan telinga untuk mendengarkan kritik dari warga.

Kedua, apa yang dilakukan Menteri Pendidikan bisa diteladani anak buah. Penyakit kepala batu dapat menjalar ke seluruh penyelenggara pendidikan, termasuk dinas dan sekolah. Jika begitu, institusi pendidikan akan menjadi tempat promosi nilai-nilai bad governance. Selain menyuburkan praktek korupsi, kondisi tersebut bertentangan dengan tujuan pendidikan.

Dalam rumusan mana pun, ketertutupan merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya praktek korupsi. Setiap tahapan kebijakan, dari perencanaan hingga pelaksanaan, sangat mudah diselewengkan. Sebab, para penyelenggara pendidikan, baik pada tingkat pusat, daerah, maupun sekolah, menganggap tidak ada lagi yang mengawasi mereka.

Tanpa menggunakan manajemen kepala batu pun, praktek korupsi di sektor pendidikan sebenarnya telah tumbuh dengan subur. Korupsi bahkan telah dirancang jauh sebelum kebijakan dilaksanakan. Akibatnya, anggaran, baik yang disediakan oleh negara maupun yang dimobilisasi dari warga, hilang di kantong para penyelenggara pendidikan.

Adapun dari aspek pedagogis, pengelolaan kebijakan dengan menggunakan manajemen kepala batu tidak sejalan dengan nilai-nilai pendidikan. Sebab, institusi pendidikan tidak hanya berfungsi mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tapi juga mesti mengajarkan dan mengembangkan nilai-nilai kebaikan, seperti kejujuran, keterbukaan, dan menghargai masukan atau pendapat orang lain.

Pendidikan nasional bukanlah bertujuan melahirkan robot-robot yang hanya menerima petunjuk dan restu dari atas, melainkan bertujuan mengembangkan pribadi-pribadi yang kreatif, kritis, dan produktif. Pendidikan merupakan proses pemberdayaan yang diarahkan pada berkembangnya kepribadian seseorang agar mandiri sebagai anggota masyarakat yang demokratis (HAR Tilaar: 2000).

Memperbaiki kondisi pendidikan nasional, yang kini masih bergelut dengan banyak masalah, mesti diawali perbaikan institusi penyelenggara, seperti departemen pendidikan. Manajemen pendidikan yang tertutup dan antikritik, seperti yang dipraktekkan oleh Menteri Pendidikan, harus direformasi. Pendidikan bukan cuma urusan pemerintah dan terlalu penting apabila diserahkan hanya kepada seorang menteri. Warga sebagai pemangku kepentingan memiliki hak untuk dilibatkan dalam setiap proses pembuatan kebijakan.

Ade Irawan, Aktivis Indonesia Corruption Watch dan Koalisi Pendidikan

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 19 April 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan