Penegakan Hukum ala Film Detektif

Inilah informasi bukan rahasia yang menarik untuk diketahui. Menjelang pemilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, 29 November 2007, saya bersama Soeripto dan lain-lain ditugasi oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengunjungi rumah Amien Sunaryadi, pemimpin KPK 2003-2007 yang maju lagi sebagai calon pemimpin KPK 2007-2012, di Bekasi. Karena kami korek, berceritalah Amien tentang betapa sulitnya memberantas korupsi di negeri ini. Contohnya adalah kasus korupsi di Bulog yang melibatkan Widjanarko Puspoyo.

Skenario Kucing-kucingan
Amien Sunaryadi sebagai salah seorang pemimpin KPK sebenarnya sudah lama mengusulkan kepada semua pemimpin lainnya agar dugaan korupsi di Bulog segera dibawa ke pengadilan karena sudah cukup bukti. Namun, sampai berbulan-bulan pemimpin yang lain tidak menyetujuinya, padahal untuk membawa kasus ke pengadilan di KPK harus dengan persetujuan semua pemimpinnya secara kolektif.

Karena merasa macet di KPK, diam-diam Amien berinisiatif menawarkan kasus itu ke Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Hendarman Supandji setuju menerima kasus itu dan meminta Amien membantunya menggiring ke pengadilan dengan segala skenario yang diperlukan. Kata skenario ini diberi tanda petik karena penegak hukum harus bermain kucing-kucingan dengan Widjanarko untuk mengungkap kasus itu.

Ditengarai kuat bahwa Widjanarko mempunyai orang di kantor KPK karena, setiap kali akan digeledah, dia sepertinya sudah tahu. Buktinya, sebelum dilakukan penggeledahan, dia memindahkan barang-barangnya ke tempat lain sehingga penggeledahan menjadi gagal.

Akhirnya dijadwalkanlah rencana penggeledahan ke kantor Bulog, tapi sengaja rencana ini dibiarkan bocor kepada Widjanarko. Namun, dalam waktu yang bersamaan Amien mengirim orang untuk mengintip ke mana barang-barang bukti itu akan diungsikan oleh Widjanarko setelah mengetahui rencana penggeledahan itu dari informannya yang ada di kantor KPK. Penggeledahan menjadi berhasil karena langsung dilakukan ke tempat penyembunyian barang-barang bukti. Widjanarko sama sekali tak menduga bahwa tempat itu sudah diketahui oleh penggeledah yang mengimbanginya bermain kucing-kucingan.

Kita tahu, kemudian kasus Bulog itu menjadi berita spektakuler, baik karena jumlah korupsinya yang sangat besar maupun karena keterlibatan orang-orangnya, termasuk drama penyembunyian dokumen dan uang di ember-ember kamar mandi di rumah Widjanarko.

Apes tanpa Backing Politik
Masalah penegakan hukum terkait dengan banyak aspek. Namun, catatan akhir tahun 2007 ini memfokuskan diri pada masalah korupsi sebagai masalah yang sekarang paling menggidikkan. Di luar soal korupsi ada aspek-aspek tertentu yang harus secara jujur dinilai cukup berhasil. Dari kepolisian kita mencatat keberhasilan perang terhadap terorisme dan perjudian, sedangkan dari Mahkamah Konstitusi kita mencatat keberhasilannya dalam mengawal konsistensi undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dalam usianya yang belum lima tahun, MK sudah berhasil memutus sekitar 120 judicial review yang dari vonis sebanyak itu hanya ada kira-kira tiga atau empat vonis yang benar-benar kontroversial dan mendapat banyak protes.

Kutipan kisah Amien di atas dapat menggambarkan bahwa hampir keseluruhan problem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia adalah busuknya birokrasi penegak hukum dan tengara intervensi politik. Penegakan hukum korupsi tak efektif, bahkan banyak yang dinilai gagal, karena birokrasi penegak hukum busuk dari dalam yang ditandai dengan banyaknya antek-antek koruptor di dalamnya. Penegakan hukum korupsi juga tak efektif karena dalam banyak hal dirasakan adanya tebang pilih karena intervensi politik.

Ada kesan kuat bahwa koruptor yang terjerat oleh hukum dan dapat dipenjarakan pada umumnya adalah mereka yang apes karena tak punya backing politik. Sedangkan mereka yang punya backing politik, baik karena posisi politiknya sendiri maupun karena kemampuannya membeli backing, dapat terus tenang-tenang dan berpidato tentang reformasi ke sana kemari di depan publik. Terkesan kuat bahwa koruptor yang terjerat oleh hukum pada umumnya bukanlah karena suatu proses penanganan hukum yang terencana dan sistematis, melainkan karena apes, tak punya backing politik.

Maka wajar jika hasil survei Transparency International Indonesia (TII) dalam beberapa tahun terakhir tetap menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling korup dengan corruption perception index (CPI) paling tinggi 2,6.

Pembusukan Aparat
Bersamaan dengan intervensi politik, upaya penegakan hukum menghadapi pembusukan dari dalam aparat penegak hukum sendiri. Para koruptor membangun kolusinya melalui orang-orang bayaran di aparat penegak hukum untuk menjamin keselamatannya atau mendapat informasi agar dapat menyelamatkan diri.

Sudah menjadi rahasia umum, banyak pengacara sekarang ini yang dalam menangani kasus korupsi tidak lagi mengandalkan kecerdasan dalam membangun argumen hukum. Namun, mereka menggunakan kolusi politik dan kemampuan untuk membeli aparat penegak hukum sehingga kasus korupsi bisa diambangkan sampai lenyap dari perhatian, dibiarkan tenggelam oleh bermunculannnya kasus-kasus lain, atau diberi SP3 tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bahkan ada pengacara yang bangga menceritakan kemampuannya memesan majelis hakim atau jaksa yang akan menangani perkaranya di pengadilan. Teman saya yang berhenti sebagai hakim karena kejujurannya menceritakan bahwa di pengadilan-pengadilan ada juga kebiasaan ijon, yakni pemesanan perkara yang belum masuk ke pengadilan oleh hakim-hakim tertentu kepada ketua pengadilan agar kalau perkara itu nanti masuk ke pengadilan dapat diserahkan kepada dirinya. Perkara yang di-ijon pada umumnya menyangkut korupsi dan sengketa perdata yang nilai uangnya sangat besar. Di sinilah banyak transaksi perkara dengan segala pengaturannya melalui mafia peradilan (judicial corruption).

KPK adalah lembaga penegak hukum yang dengan segala kekurangannya relatif berhasil melakukan pemberantasan korupsi, terutama jika dibandingkan dengan aparat yang lain. Tapi, seperti terekam dari cerita Amien di atas, di lembaga baru seperti KPK pun masih ada antek koruptor. Maka jangan heran kalau banyak orang yang sinis dan mencibir ketika Ketua MA Bagir Manan mengatakan bahwa di MA sudah tidak ada mafia peradilan. Jangan juga heran jika banyak kasus besar di Kepolisian RI, semisal rekening-rekening spektakuler, tak ketahuan lagi kabarnya karena tak pernah dikasuskan tanpa penjelasan yang dapat diterima.

Ketika berkunjung ke daerah, saya mendapat laporan ada aparat kejaksaan yang mencari-cari kasus dengan motif pemerasan, semisal mau memeriksa administrasi keuangan suatu instansi. Untuk memeras, mereka secara sepihak mau mengambil alih fungsi Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa penggunaan keuangan negara.

Pemimpin negarawan
Menakar situasi di atas, penegakan hukum ala detektif dengan cara luar biasa seperti penyadapan dan penjebakan tampaknya menjadi pilihan yang masih diperlukan setelah kita meninggalkan tahun 2007 ini. Cara inilah yang terbukti berhasil menggelandang Mulyana Kusumah, Irawady Joenoes, Hudori, dan Widjanarko ke pengadilan.

Namun, kerja-kerja ala detektif itu tidak akan efektif juga jika politik masih dibiarkan mempengaruhi penegakan hukum sehingga menimbulkan kesan tebang pilih. Di sinilah letak pentingnya pemimpin negarawan yang berani tegas tanpa pandang bulu dan tanpa perhitungan untung-rugi politik sebagai politikus.

Moh. Mahfud Md, Guru Besar Hukum Tata Negara, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dari Partai Kebangkitan Bangsa

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 31 Desember 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan