penegakan hukum di Polri; Berharap Lebih dari Sekadar Landung
Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung, Selasa (10/10), akhirnya dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, setelah Landung divonis 18 bulan, apa lagi yang akan dilakukan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto, terutama untuk membenahi institusinya? Atau apakah perkara Landung merupakan puncak gebrakan Sutanto?
Meski masih ada upaya hukum lain, vonis terhadap Landung seolah menutup penasaran masyarakat terhadap nasib jenderal polisi berbintang tiga itu.
Dimulai 22 Desember 2005. Saat itu, masyarakat seakan tidak percaya oleh langkah Polri menahan Landung karena diduga terkait dengan kasus korupsi dalam perkara pembobolan Bank BNI oleh Grup Perusahaan Gramarindo. Pembobolan yang terjadi pada tahun 2002-2003 itu merugikan negara Rp 1,2 triliun.
Saat itu, kebijakan Polri tersebut amat mencengangkan karena Landung adalah polisi aktif yang pangkatnya hanya setingkat di bawah Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto. Jumlah polisi aktif yang berpangkat sama dengan Landung juga tidak lebih dari jumlah jari di kedua tangan.
Proses hukum terhadap Landung saat itu makin meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap tekad Sutanto untuk menjadikan polisi sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat. Sebab, selain memproses hukum Landung, sejak diangkat sebagai Kepala Polri, 8 Juli 2005, Sutanto juga melakukan gebrakan lain, seperti bertindak tegas terhadap perjudian dan narkoba.
Anehnya, meski telah bersikap tegas terhadap Landung, belakangan ini Polri justru terkesan makin alergi jika ditanya penyelesaian sejumlah kasus yang berkaitan dengan pembobolan Bank BNI. Setiap ditanya, jawaban yang diberikan seperti memutar rekaman kaset usang.
Misalnya, perihal keberadaan Direktur Utama Grup Perusahaan Gramarindo Maria Pauline Lumowa yang sekarang masih buron. Setiap ditanya, Polri hanya menyebut Maria masih dipantau dan Polri sudah memohon red notice. Namun, sampai di mana efektivitas red notice tersebut, tidak pernah jelas.
Perkembangan penyidikan dugaan penerimaan 32 cek perjalanan, masing-masing senilai Rp 25 juta dari Bank BNI oleh Komisaris Jenderal (Purn) Erwin Mappaseng saat menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, juga belum jelas.
Padahal, saat bersaksi dalam persidangan dengan terdakwa Brigadir Jenderal (Purn) Samuel Ismoko dan Komisaris Besar Irman Santosa, mantan Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia Bank BNI Mohamad Arsjad sudah mengaku memberikan cek perjalanan itu kepada Erwin.
Irman dan Ismoko sendiri bahkan sudah dinyatakan bersalah akibat menerima cek perjalanan itu.
Kasus lain
Pengamat kepolisian dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar, berpandangan bahwa menggantungnya penyelesaian sejumlah kasus yang ditangani Polri, baik berkaitan dengan pembobolan Bank BNI maupun kasus lain, tidak terlepas dari pihak-pihak lain yang juga (sengaja) menggantung kasus itu.
Ini semua bisa terjadi karena faktor politis. Bisa jadi ada pihak yang secara politis dirugikan ketika sejumlah kasus diusut hingga tuntas, ujar Bambang.
Menurut Bambang, ketika penegakan hukum telah terkontaminasi faktor politis, yang terjadi adalah tebang pilih. Politik seperti itu kan pilih-pilih. Hukum adalah hukum, ungkapnya.
Sementara itu, kriminolog dari Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana, mengemukakan, secara politis, polisi memang harus bertahap dan memakai strategi tarik ulur dalam memberantas suatu kejahatan. ALasannya, jika dilakukan sekaligus dan secara total, dapat memengaruhi elemen lain. Para penjahat itu punya sindikat. Bahkan, mereka ada yang punya hubungan dengan unsur kekuasaan yang lain, kata Erlangga.
Namun, saya masih melihat tekad kuat Pak Sutanto dalam menciptakan polisi sebagai lembaga yang dapat dipercaya masyarakat, kata Erlangga. Semoga....(M Hernowo dan Sarie Febriane)
Sumber: Kompas, 12 Oktober 2006