Penegakan hukum Ketua MUI Jabar; Koruptor Harus Dihukum Mati
Penanganan kasus korupsi di Jawa Barat terus bergulir. Yang paling menyedot perhatian adalah adanya dugaan penyimpangan dana yang terkenal dengan nama kapling gate. Belakangan ini, mantan Gubernur Jawa Barat HR Nuriana dimintai keterangan di pengadilan untuk menguarai kasus tersebut. Kurdi Moekri telah dijatuhi hukuman empat tahun dan enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung, dan tengah berupaya banding. Sementara Eka Santosa tengah menjalani hari-hari berat sebagai terdakwa.
Sungguh pun dampak tindak pidana korupsi begitu terasa bagi masyarakat, namun pengungkapan dan pembuktiaannya tidaklah mudah. Intrik, politik, dan berbagai manuver sering kali turut terkait kelindan di dalamnya, sehingga semakin mempersulit menemukan koruptor yang sebenarnya.
Di samping itu, ketika seorang koruptor benar-benar terbukti bersalah, hukuman yang diterimanya acap kali tidak sebanding dengan perbuatannya. Berangkat dari sini serta melihat dampak dari korupsi, muncul wacana agar koruptor dihukum mati.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat Hafizh Utsman menjelaskan, para koruptor harus dihukum mati, terutama yang sengaja memperkaya diri dan merugikan uang negara.
Kalau korupsi secara sengaja merugikan negara, saya setuju dihukum mati. Apalagi, dia mempunyai jabatan strategis dan menentukan, papar Hafizh di Bandung, Selasa (6/6). Hafizh menjelaskan, ulama zaman dulu telah memfatwakan agar umat Islam tidak mensholatkan para pejabat yang korup.
Negara terkorup
Mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi, Hafizh menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara terkorup di Asia Tenggara. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia merupakan orang Islam. Ini memalukan, kata Hafizh. Bagi Hafizh, bukan Islam yang salah, melainkan orangnya yang berpotensi menyeleweng akibat penegakan hukum di Indonesia masih rapuh.
Penegakan hukum atau pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa dilaksanakan dari pemerintahan tingkat bawah, tetapi harus dari atas. Ibarat rumah susun, lantai satu tidak akan bersih kalau lantai di atasnya tetap kotor.
Saya melihat belum ada tindakan bagi orang besar. Koruptor bebas lari-lari dan tidak ditangkap. Yang lebih menyakitkan, koruptor bisa menginjak karpet merah di istana. Kok enak dia melenggang di istana, padahal dia merugikan uang negara, kata Hafizh.
Untuk itu, hukuman mati harus diterapkan agar tidak ada lagi koruptor di istana negara. Kalau ada sementara pihak yang menolak penerapan hukuman mati, Hafizh menilai itu hanya cermin egosentris, dan diyakini ada kepentingan politik di dalamnya.
Meskipun demikian, Hafizh akan terus menggulirkan wacana hukuman mati bagi koruptor. Dia berencana memasukkan kata hukuman mati ini di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kita menunggu kalau KUHP direvisi, ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Indra Perwira sependapat dengan Hafizh. Baginya, dampak korupsi jauh lebih kejam daripada pembunuhan. Korupsi telah membunuh secara pelan-pelan masyarakat luas. Selain itu, ongkos politik tindak korupsi terlalu mahal untuk ditanggung pemerintah. Selama korupsi masih ada, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan terus menurun. Indra menyadari bahwa hukumam mati masih diberlakukan dalam hukum positif di Indonesia, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi, belum pernah diaplikasikan.
Sebab, dalam proses pengadilan, meskipun terbukti bersalah, biasanya hakim masih mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. Akhirnya, paling dihukum penjara seumur hidup. Sebetulnya, terhadap tindak korupsi, tidak perlu mempertimbangkan unsur-unsur yang meringankan karena tidak ada korupsi yang tidak disengaja, kata Indra.
Bagi Indra, perspektif kemanusiaan hakim dengan melihat unsur yang meringankan ini telah mereduksi makna kemanusiaan. Hukuman mati bukan berarti hilangnya perikemanusiaan. Sebaliknya, hukumam mati merupakan upaya menjaga kemanusiaan itu sendiri. Alasannya, dampak korupsi yang begitu menyakitkan itu sangat tidak manusiawi.
Biasanya masyarakat salah persepsi karena hanya melihat dari aspek pelaku, bukan aspek korban yang jutaan itu. Bagi saya hukuman mati itu untuk kemanusiaan, Indra menegaskan.
Bagi Indra, hukumam mati bagi koruptor juga efektif untuk menimbulkan efek jera sebagaimana penerapan hukuman mati bagi pengedar narkoba. Ke depan, yang perlu ditekankan adalah integritas Mahkamah Agung dan jajarannya. Wacana hukuman mati merupakan politik penegakan hukum. Yang harus ditekan adalah jajaran Mahkamah Agung dan di bawahnya. Kalau tidak kompak, peradilannya susah. Dan itu yang terjadi saat ini, kata Indra.
Sementara itu, I Gde Pantja Astawa, Pakar Hukum Tata Negara dari Unpad Bandung malah menilai bahwa desakan diperlakukannya hukuman mati bagi koruptor merupakan cermin sikap emosional. Kita tidak bisa secara emosional merasa jengkel, dan meminta hukuman mati bagi koruptor. Ini harus dikembalikan ke dasar hukuman kita, kata Pantja. Menurut Pantja, kalau dilihat dari perspektif hak asasi manusia (HAM), hukuman mati mengundang perdebatan. Sebab, dalam konstitusi negara Indonesia, adalah hak orang untuk hidup. Kalau dipahami secara logika hukum, berarti tidak boleh ada hak untuk mati atau hukuman mati, kata Pantja.
Bagi Pantja, yang perlu diperbaiki adalah sistem yang korup, bukan mengedepankan hukuman mati. Hukuman mati juga tidak menimbulkan hukuman jera. Narkoba, misalnya, mereka yang dihukum mati juga masih ada yang bergulir. Sebab, ini menyangkut sistem yang korup. Yang harus diperbaiki adalah sistem, ujarnya. (Mohammad Hilmi Faiq
Sumber: Kompas, 7 Juni 2006