Penegakan Hukum yang Tersandera Politik
Berlarut-larutnya kasus Bank Century, kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi, serta dugaan mafia pajak yang melibatkan bekas pegawai pajak Gayus HP Tambunan menjadi catatan buram dalam penegakan hukum di Indonesia tahun 2010. Dengan intensitas yang bervariasi, dinamika politik di negeri ini justru turut menyandera penegakan hukum atas kasus-kasus itu sehingga penuntasannya pun terhambat.
Dalam kasus Bank Century sempat terjadi pergulatan selama hampir lima bulan di DPR untuk mengusutnya. DPR bahkan telah menorehkan sejarah untuk membentuk panitia khusus untuk menelisiknya dan bahkan memanggil Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani Indrawati. Hasilnya sangat jelas, yakni rekomendasi DPR kepada kejaksaan, kepolisian, dan KPK untuk menyelesaikan kasus hukum Bank Century. Tim pengawas DPR pun dibentuk untuk mengawal penyelesaian hukum kasus ini.
Sayangnya, riuh gaduh proses politik atas kasus ini mereda setelah koalisi partai pendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Sekretariat Gabungan (Setgab) dan Sri Mulyani ”terpental” dari jabatan Menkeu. Tidak jelas ke mana menguapnya semangat DPR yang sebelumnya menggebu-gebu, ingin mengungkap ada apa di balik kebijakan pengucuran dana talangan Rp 6,7 triliun melalui skema yang ditengarai sengaja disusun pemerintah untuk menyelamatkan Bank Century, serta ke mana saja dana talangan itu mengalir.
Yang juga menarik adalah babak lanjutan penegakan hukum dari kasus ini, di mana anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Misbakhun, yang selama ini vokal dan kritis, justru diproses hukum dan divonis setahun penjara karena sebagai Komisaris PT Selalang Prima Internasional memalsukan dokumen akta gadai dan surat kuasa pencairan deposito dalam penerbitan letter of credit Bank Century.
Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq mengakui, ada praktik politik saling sandera dalam kasus Bank Century itu (Kompas, 9/12). Namun, politik sandera itu juga yang membuat Setgab sulit efektif bekerja. Padahal, Setgab yang terdiri atas enam parpol, menguasai 423 dari 560 kursi parlemen atau 75,5 persen, dimaksudkan untuk melancar kebijakan strategis pemerintah. ”Bagaimana Setgab mau efektif jika politik saling sandera juga melibatkan tokoh-tokoh kunci,” katanya.
Ada Peran Politik
Dalam kasus kriminalisasi KPK, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki melihat ada peran politik di baliknya. Serangan ke KPK justru dimulai saat pemberantasan korupsi menyentuh aktor-aktor politik, seperti dalam kasus pemberian cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Kasus ini menyeret sejumlah kader dari Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PPP, dan Fraksi TNI/Polri.
Babak kriminalisasi KPK dimulai ketika dua pemimpinnya, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dijadikan tersangka karena diduga memeras Anggodo Widjojo. Dugaan itu menjadi seperti dimentahkan karena Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi memvonis Anggodo empat tahun pidana penjara dan denda Rp 150 juta karena melakukan upaya percobaan penyuapan kepada pimpinan KPK. Meski demikian, bukan berarti Bibit dan Chandra bisa terbebas begitu saja dari sandera kriminalisasi. Hal ini karena Kejaksaan Agung memilih opsi deponeering atau pengesampingan perkara untuk kasus itu, bukannya penghentian perkara karena tidak cukup bukti hukum.
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Hukum Trimedya Panjaitan menilai pilihan deponeering jelas merugikan Bibit-Chandra karena seumur hidup mereka tetap tersangka. Deponeering yang membebaskan keduanya dari proses hukum berikutnya dikhawatirkan dimaknai sebagai hadiah yang membuat utang budi.
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menegaskan, tahun 2010 merupakan tahun perongrongan dan pelemahan hukum oleh politik. KPK yang diharapkan rakyat untuk memberantas korupsi justru terlihat pasrah dengan intervensi politik itu.
Teten melihat pelemahan KPK bukan temporer, tetapi sudah sistemik. Ia mengutip Presiden Yudhoyono yang pernah menyatakan, KPK terlalu besar kewenangannya. Di lain pihak, DPR juga berpikir mempreteli kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK.
Dalam pemilihan pemimpin KPK pengganti Ketua KPK Antasari Azhar, ia juga melihat bagaimana DPR kurang mempertimbangkan kemanfaatan dan efisiensi. Bagaimana mungkin biaya seleksi pemimpin KPK yang memilih Busyro Muqoddas hingga Rp 2,5 miliar, tetapi hanya menjabat setahun.
”Elite politik kita memang belum menghendaki perubahan radikal dalam pemberantasan korupsi. Produk reformasi yang sudah bagus justru diusik dan dilemahkan lagi,” katanya.
Pemilihan Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief juga mencerminkan bagaimana komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sebagian kalangan meragukan Timur yang meraih ”promosi” jabatan hingga dua tingkat itu berani membersihkan internal Polri hingga menyentuh ”seniornya”.
Demikian pula dengan Basrief yang pensiunan jaksa. Di tengah serunya kompetisi dua tokoh berkualitas dan berdedikasi dalam pemberantasan korupsi, untuk menduduki jabatan pemimpin KPK, yakni Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, publik berharap salah satu dari mereka yang tidak terpilih akan dijadikan Jaksa Agung. Sayangnya, Bambang yang tidak terpilih menjadi pemimpin KPK, oleh Presiden Yudhoyono, ”hanya” ditawari jabatan Komisi Kejaksaan yang kewenangannya dalam pemberantasan korupsi sangat terbatas. Bambang menolak tawaran itu.
Dalam kasus Gayus, Teten juga tidak habis pikir bagaimana penuntasannya terkesan sulit sekali dilakukan kepolisian. Hingga saat ini penegakan hukum kasus ini belum banyak menyentuh pengemplang pajak yang diduga menyuap Gayus hingga puluhan miliar rupiah. Adakah aktor politik yang memiliki kuasa besar dan menghambat penuntasan kasus ini?
Dalam kaitan politik sandera yang menghambat penegakan hukum, Trimedya menyatakan, tidak bisa dimungkiri semua parpol punya problem yang membuat parpol sulit menghindar dari persoalan hukum. Makin runyam lagi, ia melihat hukum telah menjadi alat kekuasaan.
”Hukum digunakan untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu, tetapi di sisi lain juga digunakan untuk mengamputasi lawan politik. Situasi seperti ini membuat kondisi politik kita tidak sehat, penegakan hukum juga tidak sehat. Penegak hukum seharusnya berdiri di atas profesionalisme dan keadilan, bukan untuk kekuasaan maupun kepentingan politik tertentu,” kata Trimedya.
Jika praktik politik sandera dan pemanfaatan instrumen hukum untuk kepentingan politik itu terus terjadi pada tahun 2011, Trimedya menengarai, eskalasinya mungkin lebih cepat memanas pada 2012, tidak lagi menyesuaikan periode suksesi kepemimpinan nasional pada 2014 mendatang. [C Wahyu Haryo PS]
Sumber: Kompas, 20 Desember 2010