Penerimaan Murid Baru dan Posisi Orang Tua
Tahun ajaran baru selalu memunculkan masalah, terutama bagi orang tua calon murid baru. Permintaan, yang tidak berbanding dengan tempat yang disediakan, memaksa mereka berebut kursi di sekolah pilihan. Jika beruntung bisa lolos, masalah lainnya telah menunggu, yaitu rentetan biaya yang dikenal dengan dana sumbangan pendidikan harus dibayarkan kepada sekolah.
Setiap tahun pemerintah memang rajin membuat imbauan agar tidak ada lagi pungutan. Kalaupun tetap memungut, ditetapkan setelah murid diterima. Jenis dan jumlahnya pun didasarkan pada hasil musyawarah dengan orang tua. Tapi kenyataannya tidak demikian. Dalam melakukan rekrutmen, sekolah lebih memprioritaskan kemampuan finansial orang tua daripada kemampuan akademis murid. Secara tertutup harga telah dipatok jauh sebelum pendaftaran baru dimulai.
Walau sejatinya berfungsi sebagai institusi pelayanan publik, posisi sekolah sekarang tidak jauh berbeda dengan hotel. Siapa pun bisa dengan mudah menggunakannya asal mampu menyediakan uang. Semakin banyak semakin bagus fasilitas dan pelayanan yang diberikan.
Dalam kondisi seperti itu, kelompok yang paling dirugikan dalam persaingan penerimaan murid baru adalah kaum miskin. Walau secara akademis anaknya mampu, karena tidak didukung kemampuan finansial orang tua, dengan sendirinya akan gagal memenuhi persyaratan masuk sekolah. Orang miskin dalam pelayanan pendidikan formal tidak memiliki exit strategy karena memilih sekolah mana pun mesti mengeluarkan biaya.
Apabila berpijak pada amanat konstitusi negara, kesulitan warga, terutama kelompok miskin, untuk memperoleh akses layanan pendidikan bermutu menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya. Tapi, jika dilihat dari sudut mikro, kondisi tersebut menggambarkan adanya ketimpangan kekuatan di sekolah.
Orang tua murid, kaya ataupun miskin, tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan sekolah. Keadaan tersebut yang memicu munculnya berbagai permasalahan akut dalam sekolah, terutama berkaitan dengan aspek manajerial dan finansial, seperti penyelewengan anggaran pendapatan dan belanja sekolah. Tentu termasuk juga di dalamnya masalah penerimaan murid baru.
Karena itu, upaya untuk terus memperkuat posisi tawar orang tua murid menjadi bagian penting dalam mendorong peningkatan mutu di sekolah. Sayangnya, pemerintah tidak menganggap hal tersebut penting. Dalam penyelenggaraan sekolah, orang tua murid masih ditempatkan sebagai sumber keuangan untuk membiayai penyelenggaraan sekolah.
Masalah lemahnya posisi tawar tidak semata-mata berasal dari kondisi internal orang tua murid, yang memposisikan sekolah sebagai tempat penitipan anak, sehingga kewajibannya dianggap selesai setelah menyelesaikan urusan administrasi dan pembiayaan dengan sekolah. Penyelenggara pendidikan, baik Departemen Pendidikan Nasional maupun sekolah, juga memiliki kontribusi. Beberapa faktor penyebabnya antara lain, pertama, orang tua tidak memiliki informasi yang baik mengenai kebijakan pendidikan, termasuk yang berkaitan langsung dengan hak-hak mereka.
Ambil contoh mengenai komite dan bantuan operasional sekolah. Dalam beberapa kali survey Indonesia Corruption Watch (ICW) tergambar bahwa mayoritas orang tua tidak mengetahui komite, apalagi memahami bagaimana cara membentuknya. Dalam tiga tahun berturut-turut mulai 2003 hingga 2005, di Jakarta yang dianggap dekat dengan sumber informasi, hanya 48 persen responden pada 2003 yang mengetahui komite. Kemudian turun pada 2004 dan 2005, masing-masing menjadi 44 persen dan 32,7 persen.
Hal yang sama terjadi dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah. Orang tua murid umumnya tidak mengetahui bagaimana proses perencanaan dan pengelolaannya. Lebih parah lagi, mayoritas sekolah tidak memberi pertanggungjawaban mengenai penggunaan dana. Dari hasil survei pada 2005, sebanyak 67,5 persen orang tua murid di Jakarta mengaku tidak pernah menerima pertanggungjawaban keuangan dari sekolah. Begitupun mengenai dana bantuan operasional sekolah. Persentase orang tua murid di Jakarta yang mengetahui soal bantuan operasional sekolah hanya mencapai 25,2 persen
Buruknya pengetahuan orang tua murid mengenai kebijakan pendidikan memiliki korelasi kuat dengan buruknya informasi yang diberikan penyelenggara mulai pusat hingga sekolah. Pemerintah pusat masih menggunakan jalur birokrasi dalam proses sosialisasi, sehingga pihak di luar birokrasi, seperti orang tua murid atau masyarakat umum, tidak mendapat informasi.
Faktor kedua, tidak ada kebijakan yang mewadahi kepentingan orang tua murid. Memang, beberapa lembaga sudah dibentuk, misalnya Persatuan Orang Tua, Murid, dan Guru atau yang terakhir, komite sekolah. Tapi posisinya hanya sebagai kelengkapan sekolah. Fungsi kontrol ataupun pemberi pertimbangan tidak berjalan. Malah keberadaan lembaga-lembaga tersebut cenderung merugikan orang tua murid karena dijadikan legitimasi pihak sekolah untuk menarik dana.
Menilik hasil temuan ICW mengenai aliran dana dari sekolah ke penyelenggara di atasnya, seperti dinas pendidikan, bisa disimpulkan bahwa sulit berharap banyak adanya niat baik pemerintah memperbaiki governance di sekolah. Kondisi sekolah yang timpang secara ekonomi telah mendorong adanya subsidi dari orang tua murid kepada birokrasi pendidikan.
Karena itu, peran tersebut harus diambil alih kelompok masyarakat di luar pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, tapi tanpa mengambil alih gerakan orang tua menjadi gerakan kelompok-kelompok atau LSM. Peran yang dimainkan hanya sebatas supporting system, seperti memberi data atau informasi.
Beberapa lembaga, seperti ICW, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Suara Ibu Peduli, dan ISCO, telah membuat langkah konkret dengan membuka posko pengaduan. Fungsinya tidak hanya menampung keluhan, tapi juga menjadi sumber informasi mengenai masalah ataupun kebijakan pendidikan. Selain itu, orang tua murid akan diajak bersama untuk menyampaikan keluhannya kepada penyelenggara pendidikan, baik sekolah, dinas, maupun Departemen Pendidikan Nasional.
Ade Irawan, MANAJER PROGRAM DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 15 Juni 2006