Penerimaan Siswa Baru; ICW Minta Kejaksaan Agung Usut Dugaan Pungli
Penerimaan siswa baru atau PSB tahun ajaran 2008/2009 di sejumlah sekolah di Jakarta dan beberapa daerah di luar Jakarta diduga sarat dengan pungutan liar. Hasil monitoring Indonesia Corruption Watch atau ICW, orangtua dan calon siswa mengeluhkan banyaknya uang yang mesti mereka keluarkan dalam PSB, mulai dari uang gedung, seragam, lembar kerja siswa, biaya pembelian buku, biaya ekstrakurikuler, hingga beragam pungutan lainnya.
Dugaan pungutan liar (pungli) pada PSB mulai tingkat SD hingga SMA ini dilaporkan ICW kepada Kejaksaan Agung (Kejagung), Selasa (5/8). Laporan itu disampaikan Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Juntho, didampingi Ade Irawan dan Febri Hendri dari Divisi Monitoring Pelayanan Publik kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy.
Kepada Kejagung, ICW menyerahkan data yang terkait dengan dugaan pungli di sejumlah SD hingga SMA di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bandung, Garut, dan Padang. Pungutan mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 12 juta, dengan berbagai alasan.
Dari laporan yang masuk ke ICW, sekitar 90 persen berkaitan dengan biaya. Jumlah dan jenisnya tergantung pada lokasi dan status sekolah, tetapi umumnya berkaitan dengan uang kursi, seragam, uang gedung, dan beragam pungutan lainnya.
Pungutan PSB yang dilakukan sekolah terutama yang berstatus negeri tidak jelas dasar hukumnya. ”Sebagai institusi negara, dengan sebagian besar penyelenggara berstatus pegawai negeri sipil, uang yang diambil dari warga semestinya disetor kepada negara,” ujar Febri.
Hal ini tidak sejalan dengan aturan yang dikeluarkan pemerintah pusat, bahwa orangtua siswa pada tingkat pendidikan dasar SD, SMP atau sederajat dibebaskan dari biaya. Bahkan, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dana penyelenggaraan pendidikan.
Atas temuan ini, ICW meminta Kejagung menindaklanjuti laporan dari warga berkaitan dengan pungli di sekolah dan memberi sanksi tegas kepada sekolah atau dinas yang terbukti melakukan pelanggaran dalam PSB.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung BD Nainggolan menyatakan, setelah menerima laporan ICW, Kejagung akan menelaah laporan tersebut. Apabila memenuhi unsur perbuatan korupsi, segera ditindaklanjuti.(SON)
Sumber: Kompas, Rabu, 6 Agustus 2008 | 00:43 WIB
------------------------
ICW Laporkan Pungutan Liar di Sekolah
Lembaga swadaya masyarakat Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadukan dugaan pungutan liar di 61 sekolah negeri dari 11 provinsi kepada Kejaksaan Agung di Jakarta kemarin. Lazimnya, pungutan ini dilakukan saat penerimaan siswa baru. "Dengan praktek seperti ini, institusi pendidikan malah jadi tempat belajar korupsi," kata Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan setelah bertemu dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy di Gedung Bundar Kejaksaan Agung.
Pungutan itu menggunakan kedok bermacam-macam. Ada yang beralasan untuk biaya pendaftaran, tes, pakaian seragam, buku, dan pembangunan. Nilai pungutannya berkisar Rp 500 ribu sampai Rp 4 juta per siswa. Temuan ini berdasarkan pengaduan masyarakat dari 11 provinsi, termasuk Jakarta dan sekitarnya. Ade menambahkan, laporan ini disampaikan ke Kejaksaan Agung karena ada indikasi korupsi di dalamnya. Sebab, pemerintah melarang sekolah melakukan pungutan saat penerimaan siswa baru. Padahal sekolah negeri itu disubsidi negara melalui anggaran pendapatan dan belanja nasional atau daerah. “Uang yang dipungut itu tidak disetor ke kas negara," kata Ade.
Menurut Ade, bila sekolah hendak memungut tambahan biaya dari orang tua siswa, seharusnya membuat anggaran pendapatan dan belanja sekolah yang disetujui para orang tua siswa lebih dulu. Namun, dalam kasus pungutan liar yang dilaporkan ke ICW, kata dia, sekolah memungut biaya tanpa kesepakatan dengan orang tua murid terlebih dulu. "Jadi ada unsur paksaannya," katanya. ICW yakin praktek pungutan liar semacam ini juga terjadi di daerah. Kejaksaan Agung, kata Ade, mesti memerintahkan kejaksaan tinggi dan negeri mengusut kasus itu. “Kalau dijumlahkan seluruhnya, uang dari pungutan liar ini bisa lebih besar dari dana Bank Indonesia yang mengucur ke anggota DPR,” kata dia. Aliran dana Bank Indonesia ke DPR sekitar Rp 31 miliar.
Ade menuturkan, kejaksaan menanggapi positif laporan ini. Sebab, dalam surat edaran tertanggal 7 Juli 2008, Marwan Effendy sudah memerintahkan kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri mengusut pengelola sekolah yang menarik uang sekolah atau biaya uang pangkal dengan tarif mahal. Anton Septian
Sumber: Koran Tempo, Rabu, 06 Agustus 2008
-------------------------------
61 Sekolah Pungli Dilaporkan ke Kejagung
Hasil Investigasi ICW di 11 Provinsi
Pengurus sekolah harus berhati-hati jika akan memungut dana di luar ketentuan terhadap siswanya. Bukan hanya mengecam, Indonesia Corruption Watch (ICW) kemarin (5/8) melaporkan 61 sekolah dari SD sampai SMA ke Kejaksaan Agung. Sebab, saat diinvestigasi, ke-61 sekolah tersebut diketahui melakukan pungutan liar (pungli) pada penerimaan siswa baru (PSB) lalu. Laporan ICW itu diterima Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy.
Koordinator Bidang Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan mengatakan, 61 sekolah tersebut berada di 11 provinsi dan mayoritas berdomisili di Jakarta. Tetapi, dia meminta daftar itu tidak dibeber di media. Sebab, hal tersebut akan memengaruhi pelaporan dan tindak lanjut Kejagung.
Yang pasti, lanjut Ade, ICW menyertakan sejumlah bukti yang menguatkan indikasi pungli 61 sekolah tersebut dengan nominal antara Rp 500 ribu sampai Rp 4 juta per siswa.
''Ini merupakan laporan dari masyarakat agar Kejagung menindaklanjutinya,'' katanya ketika diwawancarai di Gedung Bundar, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, kemarin.
Ade membeberkan bahwa laporan itu penting untuk ditindaklanjuti karena praktik pungli yang dilakukan sekolah-sekolah tersebut sudah merugikan keuangan negara. Indikasinya, tidak sepeser pun dana itu yang disetorkan ke kas negara. Parahnya, menurut dia, pungli tersebut menghambat masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan yang layak. Sebab, sekolah memberikan banderol harga masuk yang terlampau mahal. ''Sangat ironis, institusi sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar dan menimba moralitas telah berubah menjadi ajang korupsi,'' tegasnya.
Berdasarkan investigasi ICW, terdapat tiga modus pungli yang dilakukan sekolah kepada siswa. Pertama, ketika pendaftaran dimulai, sekolah meminta biaya tes masuk seperti tes IQ dan beberapa tes tak resmi. Kedua, ketika siswa sudah memulai proses belajar, pungli dilakukan dengan mark up anggaran pendapatan sekolah. Ketiga, sekolah menekan agar siswa baru wajib menyumbang untuk pengadaan fasilitas sekolah seperti bangku, kursi, dan lain-lain.
Ade menuturkan, pungli tersebut mengakibatkan empat kerugian. Pertama, hilangnya kas negara. Kedua, kerugian material yang diderita orang tua siswa. Ketiga, menghambat akses keluarga miskin untuk memperoleh pendidikan. Keempat, institusi pendidikan telah berubah menjadi sarang korupsi. ''Padahal, UU Sisdiknas menyebutkan, di tingkat dasar tidak boleh ada pungutan terhadap orang tua siswa, apa pun alasannya,'' tandasnya.
Beberapa faktor penyebab munculnya praktik pungli itu, menurut Ade, antara lain, pembiaran oleh pemerintah, lemahnya posisi orang tua, serta permintaan yang lebih besar daripada jumlah kursi yang tersedia.
Sementara itu, Jampidsus Marwan Effendy mengaku siap mendukung upaya pemantauan oleh ICW terhadap praktik pungli di sekolah tersebut. Mantan Kajati Jatim tersebut menjelaskan bahwa korps Adhiyaksa memiliki komitmen untuk mengawal proses pemberantasan pungli di sekolah. ''Kami akan pelajari dulu laporan ini secara mendalam dan akan berkoordinasi dengan beberapa pihak terkait. Jika terbukti, tentu kami akan kawal proses hukumnya,'' tegasnya. (zul/kim)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 06 Agustus 2008