Pengadilan di Persimpangan Jalan

Gagasan progresif Komisi Yudisial untuk mengganti semua hakim agung melalui mekanisme kocok ulang dapat dianggap sebagai puncak kegeraman terhadap praktek mafia peradilan yang telah mewabah.

Gagasan progresif Komisi Yudisial untuk mengganti semua hakim agung melalui mekanisme kocok ulang dapat dianggap sebagai puncak kegeraman terhadap praktek mafia peradilan yang telah mewabah. Tidak dapat disangkal bahwa praktek mafia peradilan sudah berkembang sejak zaman Orde Baru, sebagaimana diakui sendiri oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Namun, tidak pada tempatnya Bagir Manan mengeluarkan pernyataan demikian karena seharusnya di pundaknyalah tanggung jawab memberantas mafia peradilan itu. Apologi semacam itu tidak akan dapat menarik simpati dan mengubah pandangan negatif terhadap peradilan yang selama ini tertanam di pikiran masyarakat.

Tidak hanya karena fakta menunjukkan bahwa kasus-kasus pemerasan dan suap yang melibatkan para pejabat di lingkungan pengadilan kerap muncul, melainkan juga dari survei dan studi yang menunjukkan bahwa di lembaga peradilan paling sering terjadi praktek korupsi, selain Bea-Cukai, polisi, TNI, dan partai politik (Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi 2004). Bahkan data terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau sekitar 40 persen dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption (Media Indonesia, 20 Januari).

Dalam situasi seperti ini, sektor yudikatif sulit untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya mendorong efektivitas pemberantasan korupsi sebagaimana telah menjadi perhatian khusus pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Secara sederhana, ada-tidaknya dukungan yudikatif terhadap komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan Yudhoyono dapat diamati dari hasil dan kualitas vonis yang telah dikeluarkan oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, maupun di MA, dalam memutus perkara korupsi.

Berdasarkan hasil kompilasi pemberitaan di berbagai media massa pada 2005, Indonesia Corruption Watch mencatat paling kurang terdapat 69 kasus korupsi dengan 239 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di seluruh Indonesia, mulai tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), kasasi, hingga peninjauan kembali (MA). Dari jumlah itu, aktor korupsi yang diadili sebagian besar berasal dari kalangan eksekutif dan legislatif. Jumlah kasus yang melibatkan para terdakwa dari lingkungan eksekutif (kepala daerah dan lain-lain) 27 kasus. Sementara itu, dari kalangan legislatif 28 kasus korupsi yang telah diproses di pengadilan. Sisanya kasus korupsi yang melibatkan pihak swasta 14 kasus.

Dari 69 kasus tersebut, 27 kasus oleh hakim divonis bebas dan 42 kasus yang akhirnya divonis bersalah. Namun, dari kasus korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah oleh pengadilan, hampir separuhnya (23 kasus) diputus di bawah 2 tahun penjara. Kualitas putusan yang demikian menggambarkan bagaimana visi dan pandangan hakim terhadap kejahatan korupsi. Patut disayangkan dalam situasi ketika pemberantasan korupsi sedang digalakkan, putusan hakim sama sekali tidak mendorong timbulnya efek jera. Jika kemudian orang tidak kunjung takut melakukan korupsi, hal itu lebih disebabkan oleh tidak berwibawanya putusan pengadilan. Memang tidak semua terdakwa kasus korupsi beruntung dapat menghirup vonis bebas ataupun hanya divonis di bawah 5 tahun penjara. Contohnya Wali Kota Blitar nonaktif, Imam Muhadi, yang divonis 15 tahun karena korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2002-2004 sebesar Rp 97 miliar.

Secercah harapan
Lain ladang lain belalang, demikian pepatah bilang. Jika di pengadilan umum semangat pemberantasan korupsi masih terhambat oleh gagalnya hakim menerjemahkan rasa keadilan yang dituntut masyarakat, paling tidak pengadilan khusus korupsi (pengadilan tipikor) berani memberikan sesuatu yang cukup menjanjikan. Selama setahun pengadilan tipikor menjalankan tugasnya memeriksa dan memutus perkara korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terdapat kecenderungan yang positif. Selain belum pernah ada putusan bebas yang dikeluarkan pengadilan tipikor, tiga terdakwa yang mencoba mencari keadilan ke tempat yang lebih tinggi (banding dan kasasi) justru mendapatkan hukuman lebih berat. Sebut saja nasib yang dialami Abdullah Puteh yang pada akhirnya harus menerima hukuman lebih berat di MA setelah dia mengajukan kasasi. Dua contoh lain, terdakwa Harun Let-Let dan Tarsisius Walla yang justru divonis lebih berat di tingkat banding dan kasasi.

Kecenderungan ini sekaligus dapat menyadarkan banyak pihak bahwa mekanisme banding ataupun kasasi bukan jalan untuk mendapatkan kebebasan. Hal ini akan membuat para koruptor berpikir berulang kali untuk mengajukan banding/kasasi, atau lebih baik langsung menerima putusan di pengadilan tingkat pertama, sebagaimana telah dilakukan oleh Mulyana W. Kusumah, Hamdani Amin, dan Sussongko Suhardjo dalam kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum. Jika pandangan ini terbentuk, secara otomatis tidak akan ada penumpukan perkara di pengadilan tinggi ataupun di MA yang selama ini menjadi masalah dan membuka peluang baru terjadinya praktek mafia peradilan.

Apa yang telah ditunjukkan oleh pengadilan tipikor selama setahun ini mudah-mudahan akan menjadi fenomena baru bahwa pengadilan bukan tempat yang enak untuk menyelesaikan persoalan. Timbulnya rasa takut atau efek jera dari para terdakwa korupsi akan berdampak pada upaya membangun keyakinan pencari keadilan bahwa putusan di pengadilan dikeluarkan secara adil.

Namun, tingkat kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya praktek mafia peradilan di pengadilan tipikor juga tetap harus dipertahankan. Kekhawatiran itu tidak lepas dari keberadaan hakim karier di pengadilan tipikor yang oleh banyak kalangan diragukan integritasnya. Hal itu mengingat saat seleksi hakim tipikor, MA tidak pernah mengumumkan, apalagi melakukan fit and proper test sebagaimana telah dilakukan terhadap hakim ad hoc. Mereka itulah yang dapat menjadi racun bagi keberadaan pengadilan tipikor yang sedang menata citra barunya.

Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 25 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan