Pengadilan Khusus Tipikor di Persimpangan Jalan
Indonesian Legal Roundtable (ILR) bersama harian ”Kompas”, 28 Juli 2008 di Jakarta, menggelar diskusi tentang pemberantasan korupsi di Indonesia. Diskusi yang dipandu Asep Rachmat Fajar dari ILR menghadirkan pembicara guru besar hukum pidana internasional dari Universitas Padjadjaran (Bandung) Prof Dr Romli Atmasasmita, Teten Masduki dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Yasin, dan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Benny K Harman. Laporan diskusi dilaporkan dalam dua tulisan, mulai hari ini.
Mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah pernah menyampaikan, ia akan berupaya menghentikan penanganan korupsi dana BI dengan pendekatan politis. Ia juga meminta DPR melakukan pendekatan yang sama. Begitulah kesepakatan BI-DPR, seperti yang diutarakan mantan Kepala Biro Humas BI Rizal Anwar Djafaara di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Rabu (6/8).
BI dan DPR tentu menyadari, pendekatan politik bisa ”membungkam” pemberantasan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum.
Berdasarkan catatan Kompas, BI pernah mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada pertengahan Februari 2008. Ada dua undang-undang (UU) yang dinilai BI bertentangan, yakni UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pendekatan politik yang dilakukan BI dan DPR bukanlah hal baru. Tersangka korupsi, terlebih mereka yang masih menjabat, dan juga lembaga yang beberapa pejabatnya tersandung kasus korupsi kerap berupaya melakukan pendekatan politik untuk menghentikan penanganan korupsi di tengah jalan.
Menurut Wakil Ketua KPK M Jasin, corruptor fight back atau perlawanan balik dari pelaku korupsi selalu ditujukan untuk melemahkan KPK. Berbagai cara dilakukan untuk melemahkan KPK, salah satunya melalui proses legislasi atau pengajuan judicial review (hak uji materi) atas UU KPK ke MK.
Politik mengganggu pemberantasan korupsi bukanlah hal baru di negeri ini. Sejarah pemberantasan korupsi yang panjang di Indonesia sudah dengan jelas mempertontonkan ini. Intervensi politik selalu ada di dalam setiap upaya pemberantasan korupsi, misalnya saat Jaksa Agung Mr Soeprapto mengadili atasannya, Menteri Kehakiman Mr Jodi Gondokusumo, akhir 1950-an, yang juga pemimpin partai politik.
Bahkan, yang paling jelas kalau mau melihat persekongkolan eksekutif-legislatif untuk mematikan upaya pemberantasan korupsi adalah dengan melihat proses kematian Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Proses kematian KPKPN ini semakin disempurnakan dengan putusan MK pada 30 Maret 2004. KPKPN semasa hidupnya memang sempat membuat getar banyak pejabat negara yang suka menyembunyikan aset korupsinya. Tak segan pula, KPKPN melaporkannya kepada polisi.
Teten Masduki dalam diskusi mengingatkan berulang-ulang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia ini. Menurut dia, upaya yang dilakukan pemerintah dan DPR dengan menunda-nunda pembahasan Rancangan UU tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sudah menjadi pertanda adanya soliditas kekuasaan, antara eksekutif dan legislatif, untuk ”membungkam” upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Diskusi yang dihadiri aktivis antikorupsi itu merasa prihatin dengan masa depan pemberantasan korupsi, khususnya dengan berlarut-larutnya pembahasan RUU Pengadilan Khusus Tipikor. Padahal, MK memberikan batas waktu bagi pembentuk UU untuk membuat payung hukum Pengadilan Khusus Tipikor paling lambat 19 Desember 2009.
Memandulkan pengadilan
Romli Atmasasmita, Ketua Tim Perumus RUU Pengadilan Khusus Tipikor, berpendapat sama dengan Teten. Ia menyampaikan keprihatinannya dengan situasi legislasi yang sekarang ini berlangsung.
”Saya sudah mengendus apa yang disebut semangat mau membunuh KPK. Pernah ada orang parpol yang bilang, jangan coba-coba membubarkan KPK kalau tidak mau berhadapan dengan rakyat. Tetapi, ada cara untuk melemahkan KPK. Salah satu caranya adalah dengan membunuh Pengadilan Khusus Tipikor, yaitu buatlah Pengadilan Khusus Tipikor menjadi mandul,” kata mantan Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman itu.
Kekhawatiran Romli juga merupakan keresahan para aktivis antikorupsi di Indonesia. Kekhawatiran mereka ini dilandaskan beberapa fakta kini. Misalnya saja, dugaan adanya upaya politik membuang-buang waktu (buying time) yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam membahas RUU Pengadilan Khusus Tipikor.
Hingga saat ini belum ada satu pun RUU yang dibahas secara khusus dalam rapat kabinet, kecuali RUU Pengadilan Khusus Tipikor. Meski begitu, rapat kabinet terbatas ini tetap tidaklah merampungkan RUU Pengadilan Khusus Tipikor, tetapi kembali mengalami penundaan pengesahan. Dua isu krusial menurut pemerintah adalah pembentukan Pengadilan Khusus Tipikor di seluruh Indonesia dan eksistensi hakim ad hoc tipikor.
Romli selaku Ketua Tim Perumus RUU Pengadilan Khusus Tipikor menyoroti diubahnya pasal 27 draf RUU Pengadilan Khusus Tipikor. Perubahan itu sempat menimbulkan polemik di masyarakat.
Dalam draf yang disampaikan dalam rapat kabinet terbatas 14 Juli 2008, pasal 27 berubah isinya menjadi Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya tiga orang hakim dan sebanyak-banyaknya lima orang hakim, terdiri dan hakim karier dan hakim ad hoc yang komposisinya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara.
Romli mengatakan, perubahan ini terjadi di tingkat pimpinan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). ”Kami ini hanya tim. Buat kami aneh kalau ketua pengadilan harus ikut menentukan komposisi. Itu sama saja mengembalikan posisi pemberantasan korupsi ke pengadilan negeri. Sekarang siapa yang bisa menjamin ketua pengadilan tidak diintervensi atasannya dalam menentukan majelis. Kalau DPR meloloskan pasal 27 seperti apa adanya dari pemerintah, wassalam. Artinya tidak ada kemajuan dalam pemberantasan korupsi,” katanya.
Secara terpisah, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta dalam jumpa pers di Jakarta mengatakan, pandangan masyarakat terhadap hakim karier telah berubah. ”Dulu hakim ad hoc diadakan karena hakim karier dipandang masyarakat tidak bisa menegakkan keadilan. Namun kini pandangan itu berubah,” kata Andi.
Vonis bebas
Pertanyaannya, benarkah pengadilan negeri kini sudah bisa dipercaya dalam memutus perkara korupsi? Berdasarkan penelitian ICW, selama periode tahun 2007 saja pengadilan negeri sudah membebaskan 212 terdakwa kasus korupsi. Meskipun pemberantasan korupsi sedang gencar-gencarnya dilakukan, ternyata vonis bebas di pengadilan negeri justru meningkat signifikan.
Jika pada tahun 2005 hanya 54 terdakwa kasus korupsi yang bebas, pada tahun 2006 meningkat menjadi 117 terdakwa kasus korupsi. Jumlah terdakwa kasus korupsi yang dibebaskan oleh pengadilan negeri pada tahun 2007 meningkat 81 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Anggota DPR, Benny K Harman, yang berasal dari Fraksi Partai Demokrat, mengatakan, saat ini dengan maraknya penangkapan terhadap anggota DPR, ia menangkap suasana kebatinan DPR untuk ”memberangus” KPK.
”Suasana kebatinan Dewan saat ini adalah DPR merasa menghamili dan melahirkan KPK, kok sekarang KPK ingin membunuh kita. Ini menjadi pandangan umum, suasana kebatinan DPR sekarang seperti ini,” ujar Benny K Harman.
Peneliti Indonesia Legal Roundtable, A Irman Putrasidin, mengatakan, KPK dalam pentas ketatanegaraan Indonesia memiliki pedang yang sangat hebat, namun pedang itu bukan miliknya. ”Suatu saat, kalau yang punya pedang jengkel sama KPK, dia ambil kembali. DPR bisa kembali mencabut pedang itu, eksekutif juga bisa, atau MK yang akan mengambil pedang itu. Maka tidak heran keluarnya putusan MK itu bagian dari proses itu,” kata Irman.
Keinginan agar perkara korupsi tidak lagi ditangani Pengadilan Khusus Tipikor, tetapi ditangani pengadilan umum, seperti kasus pencurian lainnya, bukan saja mengemuka dalam pandangan eksekutif dan legislatif. Malah kalangan pengacara juga meneriakkan hal itu.
Pada Oktober 2007, para pengacara yang tergabung dalam Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), yang dipimpin Otto Hasibuan, pernah meminta Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan untuk memikirkan agar kasus korupsi yang ditangani KPK dialihkan ke pengadilan umum atau pengadilan negeri jika pada 2009 RUU Pengadilan Khusus Tipikor belum selesai dibahas.
”Saya cari dasar hukumnya, tidak bisa itu. Saya minta pikiran seperti ini jangan ada di Komisi III DPR, karena semua tahu banyak pengacara di komisi ini. Saya akan berteriak paling kencang kalau itu dilakukan,” kata Romli.
Kini, mari sama-sama diamati pembahasan RUU Pengadilan Khusus Tipikor. Benarkah pemerintah dan DPR ingin ”memberangus” upaya pemberantasan korupsi, ataukah memang mereka memiliki komitmen kuat dalam memberantas korupsi. Pengadilan Khusus Tipikor kini benar-benar berada di persimpangan jalan. [Vincentia Hanni S]
Sumber: Kompas,12 Agustus 2008