Pengadilan Opini Publik
Penahanan dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif oleh polisi pekan lalu menimbulkan kehebohan luar biasa. Dukungan kepada Bibit dan Chandra membanjir dan menggelora.
Opini publik umumnya menyesalkan langkah polisi. Bahkan, ada yang menyebut polisi ”kalap”, tidak profesional, berlebihan, dan tidak proporsional.
Lepas tangan
Yang menarik, kecaman masyarakat merambat ke atas dan secara samar-samar mulai mengarah ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai kurang tegas dan ”lepas tangan” dalam mengatasi masalah itu. Makin banyak yang menuntut agar dibentuk komisi independen untuk menyelesaikan kekisruhan ini.
Meski Presiden Yudhoyono sudah menegaskan tidak akan mencampuri soal penahanan itu dan mengimbau khalayak untuk bersabar menunggu proses pengadilan yang akan menyelesaikan kasus tersebut, tampaknya imbauan itu kurang bergema. Presiden, yang mencanangkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas pemerintahannya, sampai-sampai menegaskan, ia akan berdiri di tempat paling depan untuk mempertahankan eksistensi KPK.
Proses pengadilan memang cara paling pas untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi proses tersebut bisa memakan waktu lama dan tampaknya masyarakat tidak sabar menunggu, ingin ada gebrakan tegas.
Yang tidak disinggung Presiden Yudhoyono adalah sebuah proses persidangan yang telah dan sedang berlangsung. Saat ini pengadilan opini publik sedang ”mengadili” kasus ini. Membanjirnya dukungan masyarakat kepada Bibit Samat Rianto dan Chandra M Hamzah menunjukkan bahwa masyarakat amat terusik oleh kasus ini. Beberapa hal kian mendorong sentimen publik: rasa keadilan terusik, kekurangpercayaan kepada kepolisian dan kejaksaan (dan hingga tahap tertentu kepada DPR dan pemerintah), ketidaksabaran akan proses yang mirip sinetron yang sengaja diperpanjang, serta ketidaktegasan aparat untuk segera menyelesaikan kasus ini.
Pengadilan opini publik selalu ada, terutama di negara demokrasi. Ia adalah bagian kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi, yang tidak boleh dan tidak dapat diberangus oleh siapa pun.
Dulu mengukur pendapat khalayak atau pendapat publik susah dilakukan. Namun, di zaman teknologi informasi yang maju seperti saat ini, hal itu bisa diukur. Misalnya jumlah mereka yang mendukung Bibit dan Chandra lewat Facebook, Twitter, atau sarana internet lain dapat diketahui. Hal ini merupakan hal baru untuk Indonesia dan menunjukkan betapa teknologi informasi telah mengubah kita semua.
Pendapat umum
Harus diakui, sentimen masyarakat yang membahana seperti ini merupakan fenomena luar biasa. Pada masa lalu mungkin hanya pemberitaan media massa, unjuk rasa, atau jajak pendapat yang bisa dijadikan alat pengukur pendapat umum. Tanda tangan, pernyataan keprihatinan, atau ban hitam tanda solidaritas kini sudah berganti (atau ditambah) corat-coret (grafiti), lukisan mural, dan pernyataan lewat internet yang tidak kalah dahsyat efektivitasnya. Jumlah facebookers pendukung Bibit dan Chandra yang mencapai ratusan ribu hanya dalam waktu beberapa hari menunjukkan bukan hanya kian meluas jumlah pengguna internet di Indonesia, tetapi juga besarnya potensi penggunaan sarana ini dalam politik dan komunikasi masa depan.
Penggerak semua ini tetap media massa. Dari sini dapat dipastikan, media di Indonesia telah dan akan berperan kian penting dalam mengawal proses demokrasi. Media massa Indonesia telah menunjukkan, ia memang pilar keempat dalam demokrasi.
Dalam kasus penahanan Bibit dan Chandra, media massa, setelah menjajaki pendapat dan sentimen publik, telah mengonstruksi pemberitaan sebegitu rupa sehingga simpati publik kepada dua pejabat KPK nonaktif tersebut terus meningkat. Ada semacam pola pemberitaan: yang jahat menzalimi yang baik, Daud lawan Goliath. Ironisnya, Direktur Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Kombes Susno Duadji sendiri yang menciptakan istilah ”cicak lawan buaya”.
Di sini media dengan sengaja menggiring masyarakat lewat pemberitaannya untuk memihak kepada ”sang cicak”. Semboyan, media massa harus obyektif, tidak memihak dan adil, telah disisihkan demi melawan apa yang dianggap sebagai ketidakadilan. Pengadilan opini publik ini tidak boleh dipandang remeh, harus ditangani secara bijak. Betul, pendapat umumnya tidak bertaji, tak bergigi, tetapi gelombang kekesalan dan ketidakpuasan dapat berubah menjadi kemarahan yang bertiwikrama menjadi tsunami.
Di sisi lain, kasus yang amat merusak citra kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah telah memperkuat posisi gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Ketidakpuasan tentang berbagai hal mendapat muara dalam kasus penahanan Bibit dan Chandra. Penahanan kedua orang tersebut telah menjadikan keduanya simbol ketidakadilan yang masih terjadi di negara kita.
Pepatah Jawa mengatakan, Kriwikan biso dadi grojokan (aliran kecil air dapat menjadi air terjun). Betul, kita memerlukan stabilitas politik dan kebangunan masyarakat sipil harus diterima serta dilihat sebagai dinamika masyarakat yang positif, yang perlu dalam pembangunan demokrasi di Indonesia.
Dalam kerangka berpikir itu, tidak ada yang ingin kasus ini berkembang menjadi pembangkangan sipil yang bisa meluas menjadi gara-gara (chaos). Karena itulah diperlukan sikap berkepala dingin dan kebijakan tegas serta tidak normatif yang bisa menormalisasi keadaan. Dan sekaligus untuk menunjukkan, pemberantasan korupsi tetap merupakan prioritas utama pemerintah sekarang.
Susanto Pudjomartono Wartawan Senior
Tulisan ini disalin dari Kompas, 3 November 2009