Pengadilan Tipikor Perlu Dibentuk Di Daerah
Pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) perlu dibentuk di setiap pengadilan negeri yang ada di suatu provinsi. Hal ini perlu dilakukan agar tercipta pengadilan yang cepat dan murah karena setiap perkara korupsi di daerah bisa diadili di pengadilan tipikor tersebut.
Hal ini disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrahman Ruki, Jakarta, Rabu (30/3). Soal keberadaan pengadilan tipikor tersebut merupakan salah satu poin yang ditambahkan dalam rancangan revisi UU No 30 Tahun 2002 yang digodok KPK.
Taufik menambahkan, untuk menciptakan persamaan di depan hukum pengadilan tindak pidana korupsi diharapkan di kemudian hari bisa mengadili perkara korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, bukan hanya perkara yang ditangani oleh KPK.
Untuk mengatasi kesenjangan hukum dalam kasus korupsi, lanjut Taufik, diperlukan revisi UU Antikorupsi, yakni UU nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 disesuaikan dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satu yang perlu disesuaikan adalah larangan dikeluarkannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) bagi perkara-perkara korupsi yang sudah masuk tahap penyidikan.
Poin-poin lain, jelas Taufik, adalah menegaskan kembali kewenangan KPK, seperti kewenangan meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. Penegasan itu dicantumkan karena pada praktiknya terjadi kendala karena adanya peraturan lain yang menghambat pelaksanaan kewenangan KPK tersebut. Di dalam kewenangan itu kami hanya mempertegas bahwa kewenangan meminta keterangan kepada bank itu tanpa izin Gubernur BI. Soalnya saat kami meminta keterangan kepada bank, mereka mengatakan bahwa di dalam aturan perbankan mereka perlu meminta izin Gubernur BI, jelas Taufik.
Ia menegaskan bahwa di dalam revisi ini, KPK tidak menambah kewenangannya karena kewenangannya. (vin)
Sumber: Kompas, 31 Maret 2005