Penganiaya Tama Pun Melenggang
Perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengungkap tuntas kasus penganiayaan aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama S Langkun, seperti angin lalu. Hingga lebih dari tiga bulan, kekerasan yang nyaris merenggut nyawa Tama ini tetap gelap. Tak ada titik terang siapa pelaku, apalagi dalangnya.
Presiden mungkin sudah lupa dengan perintahnya atau setidaknya tidak serius menuntut lebih jauh dari anak buahnya. Sementara Polri seolah sengaja ingin publik lupa dengan sendirinya. Janji yang diikrarkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri, untuk mengungkap perkara ini dalam dua minggu sejak kejadian, tak ditepati.
Namun, bagi Tama, tragedi pada Kamis (8/7) sekitar pukul 03.45 di Jalan Duren Tiga Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, itu akan terus dia kenang. Pagi itu, sepulang nonton bersama sepak bola Piala Dunia, Tama diserang sejumlah lelaki. Aktivis yang tengah mengusut dugaan korupsi rekening ”gendut” Polri itu dijatuhkan dari sepeda motor dan diserang dengan senjata sehingga dirawat intensif.
Setelah pulih, nyali Tama tak menciut. ”Saya lebih hati-hati, tetapi tak berhenti ikut serta dalam gerakan antikorupsi,” katanya.
Dalam gelombang unjuk rasa terhadap satu tahun pemerintahan SBY-Boediono pada Rabu kemarin di depan Istana Presiden, Jakarta, Tama ikut di dalamnya. ”Dulu saya pernah disambangi SBY saat dirawat di rumah sakit, sekarang gantian saya datangi dia walaupun tidak ditemui,” katanya.
Presiden menjenguk
Presiden memang pernah menjenguk Tama saat dirawat di rumah sakit pascaserangan itu. Tama juga masih ingat saat secara simpatik, Presiden menjanjikan untuk mengusut tuntas perkara ini.
Karena itu, Tama akan terus menuntut agar perkara ini diusut tuntas. ”Ini bukan masalah pribadi, melainkan menjadi preseden buruk dalam pemberantasan korupsi,” katanya.
Bagi aktivis antikorupsi dan HAM, penganiayaan Tama merupakan masalah sangat serius. Sama seperti penganiayaan atau pembunuhan terhadap wartawan yang marak akhir-akhir ini, kekerasan terhadap aktivis antikorupsi merupakan serangan langsung terhadap demokrasi.
”Kami akan terus melakukan advokasi lanjutan dengan teman-teman Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Kontras. Kami tak akan melupakan kasus ini,” kata Adnan Topan, Wakil Koordinator ICW.
Koordinator LBH Jakarta Nurcholis mengatakan, tim gabungan lembaganya dan Kontras telah menemukan indikasi Polri mengetahui Tama akan menjadi target kekerasan. Pada malam sebelum Tama dianiaya, seorang perwira polisi berinisial ”S” menemui dia dan memperingatkan agar berhati-hati terkait aktivitasnya menginvestigasi rekening milik sejumlah pejabat Polri. ”Kami sudah menyampaikan sejumlah nama lain yang dicurigai kepada polisi, tetapi mereka sepertinya tidak serius menangani perkara ini. Namun, kami akan tagih terus hal ini,” katanya.
Apalagi, kata Nurcholis, saat audiensi dengan Komisi III DPR, Timur Pradopo menyebut kasus Tama sebagai salah satu pekerjaan rumah yang akan diselesaikan setelah menjabat Kepala Polri. ”Kami akan tagih komitmennya,” ujarnya.
Namun, di mata Tama, ada kasus lain yang tak bisa dilepaskan dari penganiayaan terhadap dirinya, yaitu pengusutan rekening ”gendut” di tubuh Polri.
”Serangan terhadap saya terkait masalah rekening ’gendut’ ini. Di hati kecil, saya ragu polisi bisa menyelesaikannya karena mereka akan memeriksa sesama rekan. Saya lebih berharap dibentuk tim independen sebagaimana pernah dijanjikan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin saat menjenguk saya,” katanya. (Ahmad Arif)
Sumber: Kompas, 21 Oktober 2010