Pengawasan terhadap Polri Dinilai Lemah
Polisi membantah dianggap membiarkan terjadi penyelewengan.
Sejumlah kalangan menilai, munculnya berbagai jenis penyimpangan dan korupsi di tubuh Kepolisian RI terjadi akibat lemahnya pengawasan. “Tidak ada kontrol selain lewat Presiden,” kata Mufti Makarim dari Institute for Defense, Securities, and Peace Studies (IDSPS) dalam acara diskusi di Indonesia Corruption Watch, Kalibata, Jakarta Selatan, kemarin.
Menurut Makarim, fenomena tak terbatasnya wewenang polisi terjadi selama 12 tahun terakhir atau setelah lembaga polisi dipisah dari Tentara Nasional Indonesia. Sejak itu, korps berbaju cokelat ini mulai menguat. Salah satunya, mulai berbisnis.
Mufti membagi tiga jenis bisnis. Pertama, bisnis legal. Modus bisnis ini mirip yang dilakukan TNI, yakni mendirikan yayasan dan menangani berbagai bisnis yang masih berkaitan dengan polisi, seperti pengadaan barang.
Kedua, bisnis ilegal, yaitu bisnis tanpa surat izin usaha. Misalnya membuat bisnis jasa keamanan bagi orang dan perusahaan tertentu. Ketiga, bisnis yang berbau kriminal, yaitu menjadi beking judi, narkoba, dan prostitusi.“Semua dilakukan tertutup,”katanya.
Modus-modus ini, kata Mufti, dilakukan oleh satu sentral, yakni pejabat di kepolisian.“Mereka (pejabat polisi) bisa memerintahkan anak buah,”ujarnya.
Semua itu, kata Mufti, terjadi tanpa ada yang mengontrol, meski polisi memiliki inspektorat dan provos.
Dalam acara yang sama, Program Director Imparsial, Al-Araf, menyatakan bahwa kesewenang-wenangan polisi dimulai saat seseorang bergabung di korps baju cokelat ini.“Uang masih sangat berbicara saat mereka diterima menjadi polisi,” katanya. “Ini tak perlu bukti karena berlangsung kasatmata di mana-mana.”
Menurut Al-Araf, pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh DPR sangat kurang. Apalagi dari Komisi Kepolisian Nasional, yang ketuanya Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan.
Berangkat dari lemahnya pengawasan, Imparsial dan IDSPS sepakat mengusulkan evaluasi atas Undang-Undang Kepolisian. Dalam undang-undang itu tidak disebutkan secara detail siapa yang bisa mengontrol polisi,kecuali presiden.“ Tapi saat ini presiden membiarkan semua praktek penyelewengan dan korupsi terjadi di tubuh polisi,” kata Mufti.
Kepala Bidang Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Marwoto Soeto membantah anggapan bahwa Kepolisian melakukan pembiaran terhadap berbagai jenis penyelewengan kewenangan dan korupsi di tubuh Kepolisian.
Menurut dia, pengawasan masih kurang efektif untuk menjangkau seluruh anggota di institusinya. “Contohnya, personel Polda Metro Jaya jumlahnya sekitar 12 ribu orang, tetapi pegawai Inspektorat Pengawasan hanya 30 orang,” kata Marwoto kemarin.
Karena itu, kata Marwoto, polisi meminta masyarakat ikut aktif mengawasi. Jika melihat penyimpangan oleh polisi, laporkan atau kirim pesan pendek ke tiap hotline di kepolisian daerahnya.“(Ini) supaya kami bisa menindaknya,” ujarnya. MUSTAFA SILALAHI I RATNANING ASIH I ARYANTI KRISTANTI I ENI S
Inilah Penyimpangan yang Mungkin Terjadi di Polri
Ada enam divisi dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Di enam divisi itu ada celah-celah yang memungkinkan polisi nakal bermain-main dengan wewenang dan kekuasaan mereka. Institute for Defense, Securities, and Peace Studies (IDSPS) kemarin melansir berbagai jenis penyimpangan yang mungkin terjadi di enam divisi Polri. Inilah perinciannya.
1. Divisi Reserse Kriminal
Penyimpangan bisa terjadi pada prosedur penangguhan penahanan, rekayasa penanganan/penindakan kasus illegal logging, kolusi dengan penggelar praktek perjudian, penyimpangan prosedur pinjam barang bukti, penyimpangan kasus penyidikan pidana, prostitusi, narkoba, dan kasus lain yang berujung pungli.
2. Divisi Intelijen Keamanan
Jenis penyimpangan yang mungkin terjadi di divisi ini adalah penerbitan surat izin keramaian, pungli Surat Keterangan Kelakuan Catatan Kepolisian (SKCK), intimidasi dan kolusi terhadap TKI, kolusi dengan perjudian, dan penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana umum.
3. Divisi Samapta
Penyimpangan yang bisa terjadi adalah pelaksanaan patroli polisi, penanganan illegal logging, diskriminasi tahanan, pungli angkutan truk, serta penyimpangan dalam ekspor dan impor kayu.
4. Divisi Lalu Lintas
Penyimpangan yang mungkin terjadi adalah pelaksanaan patroli polisi, menguangkan jaminan barang bukti, tidak ada tindak lanjut proses kecelakaan, penyimpangan prosedur dengan pungutan liar dalam pengurusan SIM dan STNK.
5. Biro Personel
Jenis penyimpangan yang bisa terjadi adalah penempatan personel pada tingkat polres, pilih kasih dalam pengusulan pendidikan, penyelewengan pada proses seleksi masuk Bintara dan Perwira, pengeluaran tambahan yang dikutip dari murid (Sekolah Calon Perwira) Secapa, penyimpangan penangguhan penahanan, dan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan di RS Soekanto.
6. Biro Logistik
Jenis penyimpangan yang bisa muncul adalah distribusi bahan bakar minyak, proses sewa-menyewa tanah milik Polri, penyimpangan sistem distribusi anggaran, serta proses penggunaan dan penghunian rumah dinas. IDSPS | MUSTAFA SILALAHI | ENI SAENI
Sumber: Koran Tempo, 1 Juli 2010