Pengemplang Pajak
Jumlah perusahaan minyak dan gas (migas) yang diduga menunggak pembayaran pajak makin menggelembung. Semula Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan tak kurang dari 14 perusahaan migas yang ditengarai belum menyelesaikan kewajiban membayar pajak senilai Rp1,6 triliun.
Secara gamblang, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengumumkan 33 perusahaan migas yang bermasalah dengan pajak yang diperkirakan senilai USD583 juta sejak 2008. Melihat jumlah perusahaan migas yang “bermain-main” dengan pajak tersebut,pihak ICW yang getol mengungkap berbagai kebobolan keuangan negara yang diakibatkan penyelewengan para penyelenggara negara jelas menuding ada mafia yang berperan dibalik kasus pengemplangan pajak itu.
Meski ICW belum menunjuk hidung siapa saja mafia pajak di balik perusahaan asing tersebut,ICW masih lebih berani menyebut secara lengkap nama perusahaan migas yang bermasalah itu dibanding KPK yang berdalih atas nama etika.
Berdasarkan data publikasi ICW yang dikutip dari audit BPK dan BPKP per 24 Mei 2011, dari 33 perusahaan migas yang disinyalir belum menuntaskan kewajiban pajak, terdapat 10 perusahaan dengan tunggakan pajak terbesar. Di antaranya, posisi teratas bercokol CNOOC SES Ltd sebesar USD94,2 juta, menyusul Conocophilips (Grissik) sekitar USD84,7 juta di puncak kedua.
Petrochina bercokol di level ketiga (USD62,9 juta), lalu berturut-turut Mobil Exploration Indonesia (USD62,9 juta),VICO (USD42,9 juta), ExxonMobil Oil Indonesia Inc (USD41,7 juta), Premier Oil (USD38,3 juta),dan BP West Java Ltd (USD35,1 juta).
Pengungkapan secara transparan sejumlah perusahaan yang diduga mengemplang pajak oleh ICW itu kontan membuat perusahaan yang masuk dalam daftar tersebut bereaksi keras. Petrochina dan ExxonMobil pun sibuk membantah tuduhan tak sedap itu. Juru bicara ExxonMobil, Jeffrey Haribowo, meski irit bicara, tetapi jelas dan tegas mengungkapkan penolakan.
“Di mana pun Exxon beroperasi, kami akan melaksanakan segala kewajiban sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku,”ujar Jeffrey yang menghindar berpolemik soal tuduhan pengemplangan pajak itu. Kita berharap, pemerintah dapat segera menuntaskan persoalan ini secara transparan tanpa merugikan berbagai pihak.
Di satu sisi,betapa memprihatinkan jika keberadaan pemerintah bisa dipermainkan dengan begitu mudah oleh sejumlah perusahaan migas yang umumnya berasal dari luar negeri.Tetapi di sisi lain,perusahaan migas juga merasa tidak melalaikan kewajibannya.
Untuk sementara benang merahnya sudah kelihatan,yakni ada dispute atau perbedaan pendapat soal perhitungan pajak antara perusahaan migas yang telanjur dicap sebagai pengemplang pajak dan pemerintah.
Kalau masalahnya terletak pada perbedaan pendapat soal perhitungan pajak, hendaknya kedua pihak segera duduk bersama menyelesaikan persoalan tersebut.Ada kekhawatiran masalah ini mulai mengibas ke mana-mana, dan sudah ada kecenderungan masuk ke ranah politik.Pemerintah harus tegas menjernihkan dugaan pengemplangan pajak tersebut, jangan sampai menjadi konsumsi para politikus.
Persoalan pajak adalah salah satu isu paling seksi di kalangan para politikus untuk saling menyerang. Karena itu,pemerintah dituntut menindaklanjuti publikasi dari ICW atas 33 perusahaan migas yang ditengarai mengemplang pajak.
Apalagi data-data yang diungkapkan ICW sumbernya sangat jelas yang berasal dari hasil audit BPK dan BPKP yang masih segar. Bila persoalan perbedaan pendapat perhitungan pajak itu terus berlangsung, jelas kerugian ada di pihak negara.
Bukan saja kas negara tidak terisi oleh pajak, melainkan citra Indonesia di mata investor asing juga bisa jadi buruk karena dinilai tidak konsisten dalam kaitan pemberlakuan regulasi yang ada.
Tulisan ini merupakan Tajuk Rencana Koran Sindo, 19 Juli 2011