Penghentian Penyidikan Dikritik
"Yang penting kasus di era saya maju terus," kata Marwan.
Indonesia Corruption Watch mengkritik penghentian penyidikan terhadap beberapa kasus dugaan korupsi oleh Kejaksaan Agung. ICW menilai penghentian penyidikan seakan menjadi tren Kejaksaan dalam menangani kasus. "Ini kebiasaan buruk," kata peneliti hukum ICW, Febri Diansyah, saat dihubungi kemarin.
Menurut dia, dalam menghentikan proses suatu kasus, Kejaksaan hampir selalu berdalih kekurangan alat bukti. Hal itu, kata dia, justru mencerminkan ketidakmampuan jaksa mengumpulkan alat bukti.
Setelah menghentikan kasus yang melibatkan pengusaha properti Tan Kian pada Kamis lalu, Kejaksaan Agung mengisyaratkan bakal menghentikan kasus-kasus lama yang bertumpuk di Gedung Bundar--sebutan lain Bidang Tindak Pidana Khusus. "Semua perkara lama yang alat buktinya tak ada dan unsur pasal yang disangkakan tidak terbukti akan kami hentikan (prosesnya)," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy, Jumat lalu. "Meski dikritik, yang penting kasus di era saya maju terus."
Febri mengusulkan agar terlebih dulu dilakukan uji publik sebelum Kejaksaan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas suatu kasus. Selain sebagai pertanggungjawaban publik, kata dia, hal ini untuk mencegah Kejaksaan tak seenaknya memulai dan menghentikan kasus.
Marwan mengatakan penghentian kasus tak perlu melalui uji publik. Sebab, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kata dia, hal itu tidak diatur. Berdasarkan undang-undang, Marwan melanjutkan, penyidik berwenang menghentikan proses sebuah kasus. "Itu pun bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya melalui pesan singkat kemarin.
Jaksa, kata Marwan, memiliki kriteria yang jelas dalam menghentikan suatu kasus, baik penyidikan maupun penuntutan, yakni tidak cukup bukti, bukan perkara pidana, dan dihentikan demi hukum.
Febri juga menilai ada kekeliruan dalam penanganan kasus di Kejaksaan. Ketika pejabat Kejaksaan berganti, kasus yang ditangani penyidik di era pimpinan Kejaksaan sebelumnya lantas dihentikan. "Bisa jadi ada yang salah ketika penyidikan kasus itu dimulai," ujarnya. ANTON SEPTIAN
{mospagebreak title=Disetop di Tengah Jalan}
A. Disetop di Tengah Jalan
7 November 2008
Kasus Cengkeh
Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto meneken berita acara surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan penyalahgunaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia pada Badan Penyangga dan Pengelolaan Cengkeh.
10 Februari 2009
Kasus Tanker
Bekas Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi akhirnya mengantongi SP3 dalam kasus dugaan korupsi penjualan dua tanker raksasa milik Pertamina. Dua tersangka lain, bekas Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi dan bekas Direktur Keuangan Pertamina Alfred H. Rohimone, juga menerima surat serupa.
16 April 2009
Kasus Tan Kian
Pengusaha Tan Kian lolos dari kasus yang membelitnya. Sebelumnya, Kejaksaan menetapkan Tan Kian untuk tiga kasus dugaan korupsi, yakni penggunaan dana PT Asabri, kredit bermasalah di Bank Internasional Indonesia, dan pembelian hak tagih BII di Badan Penyehatan Perbankan Nasional melalui PT Newport Bridge Finance. Kejaksaan beralasan tak cukup bukti dan masuk ranah perdata.
{mospagebreak title=Siapa Menyusul?}
B. Siapa Menyusul?
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy memberi sinyal menghentikan kasus-kasus yang diusut sebelum "era" dia duduk di Gedung Bundar. Di antaranya:
-- Kasus Exor I Pertamina Balongan, yang antara lain diduga melibatkan mantan Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita.
-- Kasus kredit macet Bank Mandiri oleh sejumlah perusahaan.
Sumber: Koran Tempo, 20 Januari 2009