Penghitungan Suara Rawan Politik Uang (3 Juli 2004)
Jakarta, Kompas - Praktik politik uang yang indikasinya telah muncul sejak masa kampanye dikhawatirkan berlanjut hingga tahap penghitungan suara. Pada tahap itu, politik uang dimungkinkan dengan menyogok petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) agar menggelembungkan perolehan suara.
Demikian anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas) Topo Santoso dalam diskusi The Habibie Center bertema Praktik-Praktik Politik Uang Menjelang Pemilihan Presiden di Jakarta, Kamis (1/7). Pembicara lain dalam diskusi itu adalah Koordinator Divisi Advokasi Transparency International Indonesia (TII) Anung Karyadi, dan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki.
Topo mengatakan, rawannya tahap penghitungan suara dengan politik uang sudah terbukti pada pemilu legislatif, 5 April 2004. Panwas menemukan, saat itu sejumlah petugas PPS dan PPK disogok agar menggelembungkan perolehan suara calon anggota legislatif atau partai politik.
Para saksi yang diharapkan bisa mengontrol kerja PPS dan PPK sudah tidak di tempat penghitungan karena hanya dibayar Rp 25.000-Rp 50.000, ujarnya. Indikasi politik uang itu bisa diketahui misalnya pada kasus 10 PPK di Bali yang memunculkan hasil penghitungan suara yang seragam.
Topo mengungkapkan, praktik politik uang pada tahap penghitungan suara itu bahkan melibatkan petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten atau kota. Lebih dari 45 anggota KPU kabupaten atau kota telah diperiksa dan dipecat karena terlibat politik uang dalam tahap penghitungan suara.
Untuk menekan kasus politik uang dalam tahap penghitungan suara itu, Panwas telah meminta agar mendapat salinan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara langsung dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tiap tempat pemungutan suara (TPS). Dengan salinan berita acara itu, menurut Topo, Panwas bisa mengontrol penghitungan suara di PPS, PPK, dan KPU kabupaten atau kota.
Terbesar saat kampanye
Menurut Teten Masduki, temuan angka kasus politik uang dalam Pemilu 2004 meningkat dibandingkan pada Pemilu 1999. Pada Pemilu 1999, media dan sejumlah pemantau merekam sebanyak 62 kasus politik uang. Adapun di Pemilu 2004 (pemilu legislatif), hasil pemantauan ICW, TII, dan jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di delapan kota mencatat sedikitnya 114 kasus politik uang.
Modus politik uang dilakukan dengan pembagian uang secara langsung saat kampanye, rapat akbar, atau deklarasi parpol (50,87 persen), kegiatan sosial dan pembagian sembako (18,42 persen), pembangunan infrastruktur (7,89 persen), kegiatan keagamaan (7,01 persen), pemberian hadiah (7,89 persen), dan lain-lain (7,93 persen).
Teten mengatakan, politik uang dengan modus tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan praktik pembelian suara pada tokoh agama atau tokoh masyarakat (indirect vote buying). Modus yang sulit dimonitor itu digunakan tim sukses karena pembelian suara langsung pada pemilih tidak efektif. Banyak pemilih yang berprinsip