Pengisian Jabatan Struktural KPK Mengabaikan Aspek Integritas
Siaran Pers
Pengisian Jabatan Struktural KPK Mengabaikan Aspek Integritas
Pada 14 April 2020 Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melantik empat orang dari sejumlah nama yang mengikuti seleksi jabatan struktural di KPK sejak 5 Maret 2020. Empat orang tersebut antara lain: Brigjen Karyoto sebagai Deputi Penindakan, Mochamad Hadiyana sebagai Deputi Informasi dan Data, Kombes Endar Priantor sebagai Direktur Penyelidikan, dan Ahmad Burhanudin sebagai Kepala Biro Hukum.
Terpilihnya keempat orang itu merupakan rangkaian polemik lanjutan sejak KPK dipimpin oleh Firli Bahuri. Setidaknya terdapat tiga permasalahan terkait dengan seleksi jabatan struktural. Pertama, proses seleksi dilakukan secara tertutup. KPK sebagai institusi yang mengedepankan nilai transparansi dan akuntabilitas, saat ini telah jauh dari semangat tersebut. Hal ini terbukti dari jadwal yang telat disampaikan oleh Plt Juru Bicara KPK.
Berdasarkan hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), proses seleksi telah berlangsung sejak tanggal 5 Maret 2020. Namun jadwal mengenai tahapan seleksi baru diumumkan pada tanggal 31 Maret 2020. Selain jadwal, KPK pun tidak transparan terkait dengan para calon yang mengikuti seleksi pada setiap jabatan. Hal ini menimbulkan kesan bahwa KPK sedang berusaha menutupi informasi demi menguntungkan beberapa pihak.
Padahal jelas apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas dan wewenang KPK dilakukan berlandaskan pada keterbukaan dan akuntabilitas. Dengan mengabaikan aspek tersebut, Pimpinan KPK berpotensi melanggar prinsip yang telah dimandatkan dalam UU.
Kedua, tidak adanya ruang bagi warga maupun pihak eksternal untuk berpartisipasi memberikan masukkan. Dalam proses seleksi jabatan publik yang pernah dilakukan oleh KPK ataupun institusi lainnya, kerap kali warga dan pihak eksternal diminta untuk memberikan catatan terhadap calon yang akan menduduki jabatan publik. Namun, informasi mengenai nama kandidat pun tidak diungkapkan semuanya ke publik oleh KPK. Hal ini makin menguatkan adanya nuansa yang sedang ditutupi oleh KPK dalam rangka menujuk beberapa pihak semakin terlihat.
Ketiga, Pimpinan KPK tidak melihat aspek integritas sebagai poin utama yang harus dimiliki oleh setiap calon. Salah satu aspek integritas yang dapat dilihat adalah dari kepatuhan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh ICW terhadap keempat nama tersebut, tiga diantaranya tidak patuh dalam melaporkan LHKPN yakni: Mochamad Hadiyana, Endar Priantoro, dan Karyoto.
Pertanyaan pun muncul di tengah masyarakat, jika diketahui kandidat terpilih tidak patuh dalam melaporkan LHKPN mengapa tetap dicalonkan oleh institusinya? Ini mengartikan institusi mereka terdahulu tidak menganggap LHKPN sebagai sebuah entitias penting dalam menilai integritas.
Selain itu, tiga jabatan struktural dalam bidang penindakan di KPK saat ini diisi oleh unsur kepolisian yakni Deputi Penindakan, Direktur Penyelidikan, dan Direktur Penyidikan. Hal ini dikhawatirkan dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan pada saat ada kasus dugaan korupsi yang melibatkan dari institusi Polri.
Tak hanya itu, potensi loyalitas ganda pun sulit untuk dihindarkan. Sebab, di waktu yang sama para kandindat terpilih yang berasal dari Korps Bhayangkaranmemiliki dua atasan sekaligus, yakni Kapolri dan Komisioner KPK.
Pada akhirnya publik akan melihat bagaimana postur KPK di kepemimpinan Firli Bahuri. Kekhawatiran publik akan dominasi institusi penegak hukum tertentu di KPK benar-benar terealisasi.
Dari catatan tersebut maka ICW mendesak agar:
1. Pimpinan KPK memberikan informasi mengenai seluruh hasil seleksi jabatan struktural kepada publik;
2. Dewan Pengawas segera melakukan evaluasi terhadap proses seleksi jabatan struktural yang dilakukan oleh Pimpinan KPK;
Indonesia Corruption Watch
Jakarta, 14 April 2020