Pengukuran Kinerja Program Bantuan Sosial
Pengalihan dana kompensasi kenaikan harga BBM untuk program bantuan sosial, seperti penduduk miskin, panti asuhan, pendidikan, kesehatan, dan desa tertinggal saat ini masih hangat diperdebatkan. Tidak sedikit yang menolak karena menganggap bahwa kegiatan itu tidak banyak memberikan manfaat kepada masyarakat. Di sisi lain, banyak yang setuju karena program ini dipercaya dapat digunakan sebagai terapi untuk mengurangi berbagai penyakit sosial, seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketidakberdayaan.
Salah satu faktor yang mungkin membuat masyarakat tidak setuju adalah karena program ini rawan terhadap penyimpangan. Dikhawatirkan bujet yang telah disiapkan tidak sampai kepada mereka yang berhak menerimanya. Tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa dengan adanya program ini hanya akan melahirkan para koruptor baru. Maka tidak mengherankan, belum lagi program ini berjalan sudah ada suara sumbang dari masyarakat.
Sebenarnya keraguan masyarakat akan keberhasilan program tersebut tidak perlu terjadi asalkan pemerintah benar-benar konsekuen dengan kebijakannya, karena pengalaman sebelumnya, seperti program Jaring Pengaman Sosial (JPS) ditengarai adanya penyimpangan. Namun, masalahnya adalah bagaimana caranya melihat keseriusan pemerintah tersebut, mengingat kompleksitas pelaksanaannya. Untuk itu, masyarakat memang perlu memahami bagaimana cara melakukan evaluasi hasil kerja pemerintah. Dengan demikian, diperlukan suatu alat ukur yang mudah dibaca dan dipahami oleh masyarakat.
Salah satu alat ukur yang dimaksud adalah pengukuran kinerja. Alat ukur ini sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dipahami, tapi secara konsepsi tidak dipublikasikan secara luas. Mengingat hal itu, maka kiranya perlu ditampilkan penjelasan konsep pengukuran kinerja. Hal ini juga termasuk pembelajaran bagi kita semua agar nantinya dapat memberikan telaah yang proporsional terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Sehingga diharapkan tidak asal mengkritik karena tidak ada dasarnya sama sekali.
Sebagai konsep dasar kinerja adalah akuntabilitas, yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan dan menjelaskan program dan hasil-hasilnya kepada semua pihak, khususnya kepada badan legislatif. Secara terperinci, akuntabilitas mencakup tiga aspek dan saling berkaitan, yaitu akuntabilitas manajerial, proses, dan program.
Akuntabilitas manajerial dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban dari kesesuaian antara pelaksanaan dengan peraturan perundang-undangan dan proses manajerial berkelanjutan (sustainable management). Adapun akuntabilitas proses merupakan pertanggungjawaban pada sisi kebijakan dan strategi yang digunakan untuk mendukung kegiatan, seperti perencanaan, penganggaran, pengorganisasian, pemantauan, dan evaluasi. Sementara itu, akuntabilitas program merupakan pertanggungjawaban tentang hasil-hasilnya, apakah sudah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan?
Berdasarkan beberapa kriteria tersebut, masyarakat juga dapat melakukan evaluasi terhadap berbagai penyelenggaraan program pemerintah, seperti halnya bantuan sosial yang saat ini tengah dirancang untuk dilaksanakan. Masyarakat bisa mengikuti seluruh rangkaian kegiatannya, mulai aspek manajerial, proses, sampai pada programnya. Bila ada yang sampai menyimpang dari ketentuan, baru kita dapat menyebutkan bahwa hasil kerja pemerintah belum semestinya. Agar masyarakat dapat mengikuti pertanggungjawaban yang dibuat oleh suatu instansi, termasuk program bantuan sosial ini, pemerintah kiranya juga perlu memikirkan media apa yang sesuai untuk itu.
Saat ini, semua instansi pemerintah membuat Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Namun, LAKIP tersebut sering kali tidak dikomunikasikan ke masyarakat. Ditengarai pula bahwa LAKIP dibuat tidak secara benar. Jika LAKIP dibuat berdasarkan kondisi riil dalam instansi tersebut, hal ini merupakan koreksi terhadap instansi yang bersangkutan. Hal ini juga termasuk dalam pembelajaran organisasi yang harus dilakukan secara terus-menerus.
Salah satu indikasi masyarakat menuju ke arah yang lebih maju adalah apabila masyarakat tersebut dapat mengikuti secara saksama seluruh rangkaian kebijakan, program, dan kegiatan pemerintah. Seharusnya memang demikian adanya mengingat setiap kontribusi dari masyarakat yang antara lain berupa pajak seharusnya dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Hal ini sekaligus bentuk pengawasan yang paling efektif, sehingga ruang gerak para koruptor bisa dibatasi dan ditiadakan.
Kita semua telah jenuh dengan proses pembodohan yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa itu masyarakat hanya menjadi penonton terhadap hampir semua aspek kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan pemerintah. Setiap kritik yang dilakukan akan dicap sebagai pembangkang. Dalam era saat ini, hal tersebut telah berubah sehingga diharapkan proses checks and balances antara pemerintah dan berbagai komponen bangsa sepatutnya tercipta dengan baik, sehingga asas keterbukaan dapat terwujud.
Sebelum tersusunnya akuntabilitas pemerintah tersebut, diharapkan kita juga dapat melihat kedalaman hasil kerja yang dilakukan pemerintah yang disebut dengan kinerja. Bates dan Holton (1995) lebih jauh menyebutkan bahwa kinerja dapat dipandang sebagai bentuk bangunan yang multidimensional, sehingga cara mengukurnya sangat variatif bergantung pada banyak faktor. Meskipun demikian, hal yang paling penting di sini adalah bagaimana melihat kemampuan pemerintah dalam pelaksanaan program bantuan sosial tersebut berdasarkan ketersediaan sumber daya dan mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam rangka mengetahui kinerja pemerintah dalam pelaksanaan program bantuan sosial tersebut, untuk memudahkannya kiranya perlu menetapkan suatu indikator. Indikator kinerja merupakan cerminan pencapaian sasaran dan tujuan dari program. Paling tidak ada lima indikator kinerja yang umum digunakan, yaitu indikator masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact).
Sisi masukan bertalian dengan dana, sumber daya, data, dan informasi serta kebijakan. Sementara itu, dari segi keluaran berhubungan dengan sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari kegiatan. Dari sisi hasil merupakan cerminan berfungsinya keluaran kegiatan. Pada aspek manfaat terkait dengan tujuan akhir pelaksanaan kegiatan dan dampak menunjukkan pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator.
Pemahaman tentang konsep-konsep tersebut sebenarnya cukup mudah. Contohnya, program bantuan sosial ini. Sebagai masukan adalah besarnya capaian dari aspek dana dan faktor pendukung lainnya, sebagai keluaran adalah besarnya capaian penerima bantuan, sebagai hasil adalah capaian penerima bantuan yang telah menggunakan sesuai dengan peruntukannya, sebagai manfaat adalah capaian penerima bantuan yang merasakan manfaatnya, sebagai dampak adalah capaian penerima bantuan yang terbebas dari masalah sosial, seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketidakberdayaan.
Pemahaman tersebut akan lebih memperjelas kepada kita kira-kira pada aspek mana kinerja pemerintah yang menyimpang, bisa dari sisi input, output, outcome, benefit, atau impact. Lebih jauh agar diketahui seberapa besar penyimpangan yang terjadi, kiranya perlu ditetapkan suatu standar kinerja, yaitu suatu ukuran tingkat kinerja yang diharapkan tercapai dan yang dinyatakan dalam suatu pernyataan kuantitatif. Standar kinerja dapat ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, keputusan, pendapat ahli, atau berdasarkan pengalaman sebelumnya. Penetapan standar kinerja setidaknya mencakup beberapa hal, yaitu identifikasi, proses pelaksanaan, komplikasi dan pengaduan, ketersediaan informasi yang mudah diakses masyarakat, jangka waktu kegiatan, dan upaya memperbaiki ketika ditemukan penyimpangan sewaktu dilakukan pengawasan dan pengendalian.
Setelah standar kinerja ditetapkan, sebagai tahap akhir adalah evaluasi kinerja. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, maka dapat dilihat apakah hasil kinerja pemerintah sudah masuk kategori buruk, cukup, baik, atau memuaskan. Kriteria hasil kerja tersebut dapat dinilai berdasarkan besarnya gap antara standar kinerja dan hasil kinerja. Prinsip dasar evaluasi adalah menghitung capaian dari pelaksanaan kegiatan, program, dan kebijaksanaan.
Keseriusan pemerintah dalam melaksanakan program tersebut dapat dibaca dari hasil evaluasi tersebut. Namun, di lapangan sering kali hasil evaluasi dibuat sedemikian rupa sehingga terkesan baik, padahal sesungguhnya gagal. Hal ini yang sering dilakukan pada masa Orde Baru, dan dalam beberapa hal masih ditemui pada orde reformasi. Pihak LSM yang mencoba melakukan evaluasi sendiri terhadap suatu kegiatan pemerintah sering mendapat ancaman dan teror. Hal ini merupakan suatu tindakan yang tidak pantas.
Diharapkan, dengan berbekal pemahaman yang lengkap tentang pengukuran kinerja ini kita secara bersama-sama dapat menilai hasil kinerja pemerintah. Sebab, bagaimanapun, kita semua mendambakan suatu pemerintahan yang berkualitas good governance, dan ini merupakan salah satu prasyarat bangsa ini menuju bangsa yang lebih maju. (Razali Ritonga, Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik Badan Pusat Statistik Jakarta)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 30 Maret 2005