Pengusaha Setuju Kikis Mafia Fiskal
Sikap tegas Presiden SBY dan Kapolri yang akan mengusut tuntas kebobrokan Ditjen Imigrasi, termasuk mengikis para mafia fiskal, didukung pengusaha. Beberapa pengusaha beralasan bahwa merekalah yang banyak dirugikan oleh buruknya kinerja petugas imigrasi di bandara.
Biasalah kami-kami ini yang banyak dirugikan. Sering dipersulit. Kan ada pameo, kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah, kata seorang pengusaha keturunan Tionghoa kepada koran ini kemarin.
Pengusaha yang perusahaannya termasuk papan atas di Indonesia itu mengatakan koleganya sesama Tionghoa juga sering mengeluh kepadanya soal sikap petugas imigrasi yang sering memeras.
Saya sendiri hampir tidak pernah mengalami kesulitan. Tapi, banyak teman saya yang mengeluh, paparnya. Menurut dia, banyak koleganya yang ditawari oleh petugas untuk membeli fiskal dengan harga di bawah Rp 1 juta oleh seorang berseragam petugas. Tapi, karena petugas tersebut tidak bisa memberikan blangko fiskal, tawaran ditolak.
Kalau nggak ada blangko atau buktinya nanti kalau pulang kan ditanya lagi. Kita nanti yang ditahan, ceritanya. Menurut pengamatannya, Bandara Soekarno-Hatta (Bandara Cengkareng) yang paling rawan tercemar kejahatan imigrasi itu. Cengkareng terbagi menjadi dua terminal besar. Terminal 1 khusus penerbangan domestik. Terminal 2 untuk internasional plus domestik. Yang akan ke luar negeri harus melalui Terminal 2. Di Terminal 2, ada bagia-bagiannya, antara lain, 2D, 2E, dan 2F. Penerbangan internasional menggunakan Terminal 2D dan 2E.
Khusus calon penumpang tujuan luar negeri harus melengkapi beberapa persyaratan yang tidak ada di penerbangan domestik. Untuk penerbangan domestik, penumpang hanya membayar airport tax Rp 30.000. Penumpang yang ke luar negeri harus membayar airport tax senilai Rp 100.000 dan fiskal Rp1 juta, selain kelengkapan paspor dan visa.
Dihubungi terpisah, Direktur Grup Maspion Alim Satria mengatakan, dirinya tidak pernah dipersulit pihak imigrasi Indonesia. Hanya, kata dia, beberapa temannya dari Taiwan, Hongkong, dan pengusaha dari China Daratan sering mengeluhkan pelayanan imigrasi di Indonesia. Mereka sering bilang, belum masuk Indonesia, baru di bandaranya saja sudah dipersulit, bagaimana kalau masuk di Indonesia, kata Alim.
Karena itu, Alim mengatakan sangat mendukung upaya pemerintah yang akan membongkar mafia imigrasi. Saya kira, semua masyarakat akan men-support upaya pemerintah. Sebab, negaralah yang paling dirugikan oleh masalah ini, ujarnya.
Selain secara materiil mengurangi pendapatan negara, kerugian lain adalah makin buruknya citra Indonesia di luar megeri. Kita harus sama-sama memperbaiki citra Indonesia, pintanya.
Direktur Utama Angkasa Pura II, Edie Haryoto, mengakui bahwa di Soekarno-Hatta paling banyak penyelewengan. Namun, sebagai pengelola bandara, Angkasa Pura II yang antara lain membawahi Bandara Soekarno-Hatta hanya menerima laporan-laporan, tidak masuk ke urusan fiskal.
Kita ini (Angkasa Pura II) kecipratan fiskalnya saja tidak. Jadi, masalah itu bukan kewenangan kami. Tapi, kami mendukung jika pemerintah menindak tegas pelaku kejahatan fiskal, kata Edie kepada Jawa Pos. Yang jelas, tambah dia, Angkasa Pura II akan mengintensifkan kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengurangi kejahatan di bandara.
Meski banyak kejahatan di Soekarno-Hatta, Edie berobsesi menjadikan Angkasa Pura II sebagai airport city berkelas internasional. Soal kerugian dari pendapatan fiskal yang mencapai Rp 1,2 triliun, dia enggan berkomentar. Ya, bisa segitu nilainya, tapi mungkin bisa lebih kalau bocornya sering, tandasnya.
Namun, dari jumlah penumpang yang tercatat di Angkasa Pura, kerugiannya diperkirakan Rp 1,2 triliun lebih. Dari data terakhir di Angksa Pura II, jumlah penumpang yang keluar negeri pulang pergi 5 juta orang per tahun. Karena itu, yang keluar negeri dan membayar fiskal 2,5 juta orang.
Berarti, rata-rata yang keluar negeri setiap hari 6.850 orang atau 205.500 orang per bulan. Nah, jika 35 persen saja yang tidak membayar fiskal atau hanya 4.452 orang per hari, kebocorannya sekitar Rp 4,4 miliar sehari atau Rp 132 miliar sebulan.
Setahun kerugiannya mencapai Rp 1,6 triliun. Itu baru Angkasa Pura II saja kalau ditambah dengan Angksa Pura I tentu lebih besar. Belum lagi, jika memperhitungkan saat fiskal pertama diberlakukan pada Februari 1998. Jadi, berapa kerugian negara mulai 1998 hingga 2005.
Sementara itu, Wakil Ketua DPP Asosiasi Penghimpun Biro Perjalanan Wisata (Asita) Haryono Gondosoewito mengaku mendukung upaya memberantas kejahatan imigrasi yang mengakibatkan kebocoran fiskal tersebut. Sebab, kata Haryono, kejadian membayar fiskal di bawah tarif resmi sudah menjadi rahasia umum di bandara.
Sebenarnya, ini (membayar fiskal di bawah tarif resmi) bukan hal baru. Sudah bukan rahasia lagi dan biasa terjadi di bandara, terang Haryono kepada Jawa Pos. Bahkan, dia mengaku pernah ditawari langsung oleh petugas bandara. Tapi, saya tidak mau. Mungkin saja calon penumpang yang pengetahuannya dangkal tentang fiskal akan bersedia membayar, tuturnya.
Menurut dia, awalnya penumpang ditawari dengan harga Rp 800.000 dan boleh negosiasi hingga Rp 500.000. Selain itu, operasi tersebut biasanya terjadi jika yang pergi keluar negeri lebih dari satu orang. Jika lebih dari satu orang, biasanya justru sering terjadi kesepakatan. Jadi, karena banyak orang, biar murah, bayarnya bisa di bawah Rp 1 juta, katanya.
Soal tudingan bahwa ada beberapa perusahaan biro travel yang kerap melakukan pelanggaran tersebut, Haryono mengaku bergantung pada masing-masing biro travel. Tapi, saya kira, tidak ada anggota Asita yang melakukan pelanggaran seperti itu, pungkasnya. (yun)
Sumber: Jawa Pos, 21 Desemebr 2005