Pengusutan Bambang Bukan Politis; Jaksa Tetap Bersikeras dengan Dakwaan Kumulatif
Jaksa penuntut umum membantah adanya nuansa politis dalam pengusutan perkara dugaan korupsi pengadaan buku ajar SD/MI Kabupaten Semarang 2004 Rp 3,950 miliar dengan terdakwa Bupati Semarang nonaktif Bambang Guritno. Kasus ini muncul karena peran serta masyarakat yang melaporkan kasus korupsi.
Bantahan tersebut disampaikan dalam jawaban atas eksepsi penasihat hukum terdakwa dalam sidang perkara ini di Pengadilan Negeri Ungaran, Kamis (28/6).
Dalam sidang, Kamis pekan lalu, penasihat hukum terdakwa dalam eksepsinya menyatakan, penuntutan terhadap Bambang penuh dengan nuansa politis. Ini menunjuk pada disebutnya laporan dari gabungan beberapa partai politik se-Kabupaten Semarang kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah dalam surat dakwaan.
Menurut jaksa, penasihat hukum lupa bahwa laporan tersebut justru merupakan wujud peran serta masyarakat dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.
Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi ini seperti diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kata salah seorang jaksa, MA Pattikawa, dalam sidang tersebut.
Jaksa juga bersikeras bahwa dakwaan dengan pasal kumulatif kepada terdakwa sudah benar dan tidak membingungkan. Ini sebagai jawaban atas eksepsi penasihat hukum terdakwa yang menilai hal itu membingungkan.
Dalam surat dakwaannya, jaksa mengenakan dua pasal primer dan dua pasal subsider kepada Bambang. Dakwaan pertama primernya adalah Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Dakwaan pertama subsidernya Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sedang dakwaan kedua primernya adalah Pasal 12B UU 20 Tahun 2001 juncto Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001. Dakwaan subsider kedua adalah Pasal 11 UU 20 Tahun 2001 juncto Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001. Terdakwa juga dikenai Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Konstruksi dakwaan yang termuat dalam surat dakwaan ini tidaklah membingungkan. Dakwaan tersebut disusun agar dimengerti oleh terdakwa sehingga uraian fakta dan kejadian di sekitar tindak pidana yang dilakukan dirumuskan secara cermat, jelas, dan lengkap, kata Pattikawa.
Tidak seperti sidang pertama, sidang kedua kasus ini tak terlalu banyak masyarakat yang menonton. Kekhawatiran akan datangnya massa tak terbukti. (HAN)
Sumber: Kompas, 29 Juni 2007