Pengutang Kakap Nakal Terancam Paksa Badan
Sempat terganjal masalah hukum.
Pemerintah akan memberlakukan sanksi paksa badan atau gijzeling terhadap para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang tidak kooperatif membayar utang kepada negara.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, upaya paksa badan itu akan dituangkan dalam sebuah surat keputusan bersama yang akan ditandatangani oleh dirinya selaku Menteri Keuangan, Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutanto. "Menurut saya, (para obligor) sudah tidak bisa dipercaya lagi. Jadi, gijzeling menjadi urgen (mendesak)," katanya setelah menghadiri rapat koordinasi penanganan para obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia di Jakarta kemarin.
Sri Mulyani, yang juga pelaksana tugas Menteri Koordinator Perekonomian, menjelaskan saat ini tim ketiga lembaga negara itu sedang memproses penyelesaian surat keputusan bersama tersebut. Tim, katanya, akan menetapkan standar operasi dan prosedurnya sehingga langkah-langkah paksa badan secara hukum akan kuat.
Menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji, surat keputusan bersama paksa badan terhadap para pengutang kakap sebenarnya pernah akan dicoba beberapa tahun silam. Tapi hal itu urung dilaksanakan karena masih terganjal masalah hukum di Mahkamah Agung. "Kini kami akan membicarakan kembali supaya penegakan hukum berjalan sesuai dengan ketentuan," katanya.
Upaya paksa badan, kata Sri, baru akan digunakan jika para pengutang kakap bertindak tidak kooperatif dalam berhubungan dengan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). "Kami akan menggunakan pendekatan perdata dulu," katanya, "Jika mereka tak kooperatif, kami secara aktif akan menggunakan gijzeling."
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia diberikan kepada sejumlah bank saat krisis keuangan menghantam Indonesia pada 1998. Syaratnya, pemilik bank-bank yang mendapatkan bantuan likuiditas itu mengembalikannya kepada negara.
Saat ini ada delapan pengutang bantuan likuiditas itu yang dianggap nakal, yakni James Januardy dan Adisaputra Januardy (Bank Nomura), Atang Latief (Bank Bira), Lidya Mochtar (Bank Tamara), Omar Putihrai (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa), Agus Anwar (Bank Pelita/Istismarat), dan Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian). Sebagian dari mereka kini di luar negeri dan tak jelas keberadaannya. Total nilai kewajiban para pengutang kakap itu mencapai Rp 2,3 triliun.
Menurut Kepala Polri Jenderal Sutanto, Panitia Urusan Piutang Negara boleh menggunakan upaya paksa badan jika para pengutang kakap itu tak kooperatif menyelesaikan kewajibannya. "Mereka (para pengutang) bisa ditahap," ujarnya di tempat yang sama.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko kepada Tempo mengatakan pemerintah seharusnya memakai pendekatan pidana dalam menyelesaikan kasus bantuan likuiditas itu. "Kalau pakai cara perdata, berapa utang obligor itu bisa ditarik? Para obligor itu juga tidak jelas keberadaannya," ujarnya.
Pemerintah, menurut Danang, akan kesulitan menggunakan cara perdata. "Pemerintah tidak sadar akan berhadapan dengan pengacara seperti apa. Prosesnya akan panjang. Biaya juga akan mahal," kata dia, "Akan berbeda jika menggunakan pendekatan pidana."
Namun, menurut Sutanto, penyelesaian bantuan likuiditas tidak mungkin menggunakan pendekatan pidana. “Perdata, ya, perdata. Masak, kasus perdata bisa dibolak-balik," ujarnya. "Kalau perdata tidak bisa menyelesaikan kewajiban, kami bisa melakukan hukuman kurungan,". SORTA TOBING | GUNANTO ES
Sumber: koran Tempo, 18 Juli 2008