Penindakan Kasus Korupsi Menurun
Thursday, 08 September 2016 - 00:00
Penindakan kasus korupsi selama semester I-2016 menurun. Hal tersebut berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch dalam rentang Januari- Juni 2016.
Penegak hukum sepanjang semester I-2016 telah menyidik 210 kasus korupsi di seluruh Indonesia. Aktor yang terjerat sebanyak 500 orang dengan kerugian negara Rp 890,5 miliar. Jika dibandingkan tahun sebelumnya di semester yang sama, penegak hukum cenderung lebih besar dalam menangani kasus korupsi. Setidaknya ada 299 kasus yang ditangani dengan menjerat 595 tersangka, yang menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 3,9 triliun.
Hal ini tentu jadi pertanyaan besar masyarakat. Mengapa kasus korupsi yang disidik penegak hukum cenderung turun pada awal semester?
Setidaknya ada tiga penyebab. Pertama, pemotongan anggaran untuk menangani kasus korupsi. Hal ini akan berdampak pada kinerja pengungkapan kasus korupsi mulai dari penyelidikan hingga penuntutan.
Secara umum, biaya yang dimiliki penegak hukum untuk menindak kasus korupsi tak jauh berbeda antarpenegak hukum lainnya pada 2015. Biaya yang dimiliki kejaksaan untuk menangani perkara hingga tuntas sebesar Rp 200 juta. Di kepolisian, biaya penanganan satu perkara korupsi Rp 208 juta. Sementara di KPK, biaya penyidikan punya pagu anggaran Rp 12 miliar untuk proyeksi 85 perkara. Artinya, setiap perkara yang disidik KPK sekitar Rp 141 juta.
Namun ketika anggaran penanganan kasus korupsi dipangkas, ada beberapa persoalan yang muncul, terutama di daerah. Salah satunya memanggil saksi guna kepentingan penyidikan, terutama jika saksi berada di luar kota. Karena mendatangkan saksi membutuhkan biaya yang tak sedikit, hal ini yang menjadi salah satu penyebab mengapa proses penyidikan terkatung-katung.
Kedua, kapasitas penyidik dalam mencari alat bukti. Dalam penanganan kasus korupsi, penyidik harus punya dua alat bukti agar status penyidikan dapat naik penuntutan. Hal yang biasa terjadi adalah penghitungan kerugian negara yang belum selesai.
Terkadang penyidik tak dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan BPK atau BPKP sebagai lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara. Oleh karena itu, sering kali terjadi lempar tanggung jawab antara penegak hukum dan lembaga pengawas keuangan.
Ketiga, keluarnya Instruksi Presiden No 1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategi Nasional (Inpres Anti Kriminalisasi). Ini jadi salah satu faktor yang membuat penanganan kasus korupsi menurun.
Inpres tersebut mengatur jika ada laporan masyarakat yang diterima kejaksaan ataupun ke kepolisian mengenai penyalahgunaan wewenang, kedua penegak hukum itu harus menyampaikan laporan tersebut kepada pimpinan kementerian/lembaga atau pemerintah daerah. Ini menjadi salah satu cara menyelesaikan pelanggaran secara internal.
Jika terjadinya pelanggaran administratif, penyelesaian secara internal dapat dimungkinkan sepanjang tak menimbulkan kerugian negara. Namun, bagaimana jika menimbulkan kerugian negara? Spekulasi yang muncul, laporan berdampak pada kerugian negara akan dihapus jika pihak yang terlibat mengembalikan kerugian negara.
Solusi
Penegak hukum perlu meningkatkan kinerja penindakan kasus korupsi mengingat menurunnya kinerja pada semester I-2016. Pemotongan anggaran dalam penanganan kasus korupsi perlu dipikirkan secara lebih matang oleh pemerintah mengingat sebagian besar kasus korupsi terjadi di daerah.
Biaya yang dikeluarkan untuk memanggil saksi dan mengumpulkan alat bukti satu keharusan yang dilakukan penyidik agar kasus korupsi yang sedang disidik dapat selesai hingga tahap eksekusi. Optimalisasi anggaran menjadi kunci penting untuk penegak hukum di daerah dalam penggunaan anggaran.
Untuk mengantisipasi penurunan penanganan kasus korupsi, penyidik harus dibekali kapasitas yang cukup. Pertemuan secara periodik antarpenegak hukum dengan lembaga pengawas keuangan merupakan salah satu cara agar dapat selalu berkoordinasi. Hal ini diperlukan agar ada kesamaan persepsi dalam mencari alat bukti untuk menghitung kerugian negara.
KPK juga perlu mendorong fungsi koordinasi dan supervisi jika ada kasus yang prosesnya lambat. Penting kiranya untuk membuat basis data terintegrasi antarpenegak hukum dan dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini agar KPK dapat menelusuri kasus apa saja yang dinilai lambat prosesnya. Memublikasikan kasus korupsi yang sedang ditangani pun menjadi bagian dalam pelibatan masyarakat dalam memantau kasus korupsi.
Selain itu, penegak hukum juga harus membuat aturan tentang lama waktu penyidikan. Sebelumnya, kepolisian telah memiliki aturan tersebut. Dalam Peraturan Kapolri No 12/2009 Pasal 31 Ayat 2 dijelaskan batas waktu penyelesaian perkara. Untuk perkara sangat sulit 120 hari, perkara sulit 90 hari, perkara sedang 60 hari, dan perkara ringan 30 hari.Namun, aturan ini diganti jadi Peraturan Kapolri No 14/2012. Sayangnya, aturan itu menghilangkan berapa batas waktu penyelesaian perkara. Hal ini yang diperlukan tersangka mendapatkan kepastian hukum atas kasus yang sedang dihadapi, khususnya korupsi.
Dalam kaitannya dengan Inpres No 1/2016, pemerintah seharusnya meninjau ulang pelaksanaan inpres itu. Karena inpres ini berpotensi melindungi pejabat yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Pada dasarnya, jika ada penyalahgunaan wewenang yang terdapat bukti kuat dan berakibat timbulnya kerugian negara, penegak hukum seharusnya dapat langsung memproses. Penyelesaian internal bisa dilakukan jika hanya terdapat pelanggaran administrasi yang tak berdampak pada kerugian negara.
Wana Alamasyah, staf divisi investigasi Indonesia Corruption Watch
---------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2016, di halaman 7 dengan judul "Penindakan Kasus Korupsi Menurun".