Penjara 203 Tahun untuk Koruptor
LAIN ladang, lain belalang. Lain Taiwan, beda Indonesia. Di sana, ada koruptor yang dihukum 203 tahun karena korupsi Rp 230 juta. Di Indonesia? Ah, korupsi miliaran rupiah masih bisa tenang-tenang menghirup udara segar tanpa sengsara di balik jeruji penjara. Andai Indonesia itu Taiwan....
Yu Wei-hsiang adalah wali kota Hsikang di Provinsi Tainan, Taiwan. Oleh pengadilan distrik setempat, sebagaimana diberitakan Central News Agency, pada Kamis (6/5) dia divonis hukuman penjara 203 tahun 10 bulan lantaran terbukti menerima suap sekitar TWD 790.000 (sekitar Rp 230 juta). Sungguh, itu bukan salah cetak, 203 tahun untuk Rp 230 juta!
Di Taiwan koruptor dijerat hukuman berat. Itu persis di Tiongkok. Di Negeri Tirai Bambu itu, misalnya, Xiao Hongbo, deputi manajer cabang Bank Konstruksi Tiongkok, salah satu bank milik negara, di Dacheng, Provinsi Sichuan, dihukum mati karena korupsi. Xiao telah merugikan bank 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 miliar.
Bahkan, petinggi Partai Komunis Tiongkok, Cheng Kejie, juga dihukum mati karena menerima suap 5 juta dolar AS. Tak ada pandang bulu dalam memberantas korupsi, termasuk sang pemimpin. Pernah petinggi Tiongkok berucap, "Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama." Artinya, seorang petinggi pun layak disediai peti mati jika terbukti korupsi.
Andai saja Yu, Xiao, maupun Cheng berada di Indonesia, tentu ceritanya lain. Yu tak perlu mendekam di penjara sampai 203 tahun, Xiao maupun Cheng masih bisa menghirup udara sembari menikmati pergaulan sosial mereka. Taiwan dan Tiongkok adalah "neraka" bagi koruptor dan Indonesia adalah "surganya".
Di surga itulah seorang koruptor masih bisa menjadi pengurus organisasi olahraga walau digugat untuk mundur. Di surga itulah sang koruptor masih bisa mengikuti pemilu kepala daerah, menjadi pengurus partai politik dan dosen, juga segala kenikmatan lain, termasuk impunity (tanpa sanksi hukum).
Kode Moral
Taiwan adalah "neraka" dan Indonesia masih menjadi "surga" lantaran kode moral yang berbeda. Filsuf James Rachels menyatakan, kode moral dari suatu masyarakat menentukan apa yang benar dalam masyarakat itu. Artinya, jika kode moral dari suatu masyarakat mengatakan bahwa sesuatu tindakan adalah benar, tindakan tersebut memang benar, setidaknya untuk masyarakat tersebut. Namun dia mengingatkan, kode moral dari masyarakat itu tidak mempunyai status istimewa karena hanya merupakan salah satu di antara yang banyak. Lantaran hanya salah satu, kode moral sangat memungkinkan untuk bergeser-geser.
Contoh paling gamblang adalah suap. Banyak orang tahu bahwa suap tidak dibenarkan berdasar aturan moral. Tetapi, banyak orang yang melakukannya karena orang lain juga melakukan tindakan itu. Akhirnya, terlibat dalam suap juga tidak apa-apa. Apalagi, berdalih saling menguntungkan. Penyuap memperoleh kemudahan dalam suatu proses dan yang disuap mendapatkan keuntungan materi. Keduanya saling sepakat dan tindakan tersebut seolah-olah tidak apa-apa secara moral. Di sini, kode moralnya juga bergeser. Suap yang tidak mengikuti aturan moral menjadi "tidak apa-apa".
Banyak kode moral yang sudah bergeser karena masyarakat banal dengan tindakan-tindakan yang menyimpang dari aturan. Kebiasaan-kebiasaan itulah yang akan mengubah kode moral. Di Indonesia, menjadi koruptor seolah biasa saja karena orang lain juga menjadi koruptor. Hal tersebut membuat rasa malu hilang begitu saja. Bandingkan dengan pencuri ayam. Bagaimanapun, menjadi pencuri ayam merupakan tindakan memalukan karena tidak banyak orang yang mencuri ayam. Kode moralnya; Mencuri ayam adalah tindakan buruk. Padahal, nilai seekor ayam jauh di bawah nilai yang diambil koruptor!
Itulah yang membedakan Taiwan dan Indonesia. Kode moral di Taiwan sulit bergeser karena rambu-rambu hukum sangat tegas. Hukum di sana memberikan kepastian kepada masyarakat bahwa kode moral korupsi adalah sesuatu yang sangat buruk. Barang siapa yang nekat berbuat sangat buruk itu, sanksi hukumnya tak main-main.
Prinsip Kesetimpalan
Sekarang jika dibalik, yakni para koruptor Indonesia hidup di Taiwan atau Tiongkok, bisa jadi orang berpikir panjang untuk melakukan korupsi. Bayangkan, Rp 230 juta diganjar 203 tahun! Bayangkan lagi, Rp 3,9 miliar diganjar hukuman mati. Apakah itu tak membuat takut? Rasanya, efek jera bakal terbangun.
Artinya, hukum di Taiwan maupun Tiongkok memperhatikan prinsip kesetimpalan (proportionately). Kurang lebih maknanya, menghukum si penjahat seharusnya sesuai dengan beratnya kejahatan. Sebab, hakikat hukuman, kata ahli etika Jeremy Bentham, adalah pembayaran kembali si penjahat karena perbuatan jahatnya. Mereka yang terlibat kejahatan sepantasnya diperlakukan buruk (sengsara) sebagai balasan.
Korupsi adalah sebuah kejahatan besar dan tentu saja setimpal jika dihukum berat. Korupsi tidak sekadar memperkaya diri, melainkan telah menghancurkan moral, membunuh solidaritas, menggerogoti pilar negara, membinasakan banyak orang, merusak infrastruktur, memarginalkan warga tertentu, merusak tatanan, memperkukuh perbedaan kelas, dan lainnya.
Jadi, secara sederhana mau dikatakan, jika ingin menimbulkan efek jera bagi koruptor, selayaknya perlakuan serupa yang diterapkan kepada Yu, Xiao, maupun Cheng ada di Indonesia. Hukum tak boleh pandang bulu!
Toto Suparto , pengkaji etika di Puskab Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 12 Mei 2010