Penolakan Revisi Undang–Undang KPK
Guru Besar yang tergabung dalam Forum Rektor mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi pada jumat, 17 Maret 2017 lalu. Kedatangan para Guru Besar sekaligus membawa lentera sebagai simbol dukungan agar korupsi proyek e-KTP ditutaskan sekaligus menolak segala bentuk pelemahan KPK melalui revisi undang-undang.
Kedatangan di KPK tersebut dipicu keresahan atas sosialisasi rencana revisi undang–undang KPK oleh anggota DPR dibeberapa Perguruan Tinggi (PT). Pada pertemuan tersebut, Prof Asep Saifuddin sebagai Wakil Forum Rektor Indonesia menyatakan dengan tegas, menolak revisi UU KPK dan berharap pimpinan PT di seluruh Indonesia juga melakukan penolakan
Sejarah mencatat bahwa upaya merevisi UU KPK merupakan agenda rutin DPR. Sejak oktober 2010, polemik revisi UU KPK hadir di ruang publik. Terakhir, di tahun 2016 DPR melalui Badan Keahlian Dewan (BKD) kembali melakukan sosialisasi ke sejumlah PT di seluruh Indonesia untuk membahas urgensi revisi undang–undang. http://news.detik.com/berita/3132724/begini-upaya-dpr-merevisi-uu-kpk-sejak-2010-hingga-2016.
Di Universitas Nasional, BKD DPR melakukan seminar dengan tema “Urgensi Revisi UU KPK” pada 28 Februari 2017. Pada kegiatan tersebut dibahas beberapa ketentuan dalam UU KPK diantaranya seperti penyadapan, kewenangan menghentikan penyidikan, pembentukan dewan pengawas KPK dan orientasi KPK yang fokus pada pencegahan.
Seperti diketahui, draft revisi UU KPK versi tahun 2017, setidaknya ada 3 (tiga) ketentuan krusial yang berpotensi melemahkan KPK. Pertama, terkait penyadapan. Dalam ketentuan ini KPK hanya boleh menyadap jika perkara sudah masuk dalam tahap penyidikan atau setelah terdapat bukti permulaan yang cukup. Kondisi semakin runyam karena penyadapan harus dilakukan setelah mendapat izin tertulis dari dewan pengawas.
Kedua, dalam draf RUU KPK disebutkan bahwa Dewan Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan dan penyitaan, sedangkan keanggotaannya dipilih oleh DPR RI berdasarkan usulan Presiden. Ketentuan ini sangat bermasalah karena KPK rentan di intervensi oleh Dewan Pengawas dan berpotensi adanya matahari kembar di KPK.
Ketiga, adanya ketentuan penyelidik KPK harus diperbantukan dari kepolisian selama menjadi pegawai KPK. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan jika KPK sedang menangani korupsi di penegak hukum. Disisi lain jutru telah ada putusan MK yang memutuskan bahwa KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri.
Intinya jika draft revisi UU KPK dibaca lebih teliti ternyata tidak ditemukan usulan yang memperkuat KPK justru sebaliknya meletakan KPK dalam bahaya. Sejumlah kewenangan KPK dipreteli dan rentan diintervensi. Penolakan dari Forum Rektor Indonesia dan Guru Besar Antikorupsi harus menjadi refleksi bagi DPR, karena jika revisi ini tetap dipaksakan, maka sesungguhnya mereka telah mengabaikan peringatan para Guru besar dan 4300 universitas yang ada dibelakangnya.*** (Tama/Agus)