Penuntasan Kasus BNI akan Keluarkan RI dari Daftar Hitam [27/06/04]
Agar Indonesia bisa keluar dari daftar hitam negara-negara yang dinilai tidak serius menangani tindak pidana pencucian uang (money laundering), kepolisian dan kejaksaan dituntut serius menuntaskan kasus pembobolan L/C BNI Kebayoran Baru senilai Rp1,7 triliun.
''Kita masuk dalam daftar Non-Cooperative Countries and Territerories (NCCT) sejak Juni 2001 bersama enam negara lain, karena dianggap tidak serius menangani tindak pidana pencucian uang,'' kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein usai penandatanganan nota kesepahaman (MoU) penanganan tindak pidana pencucian uang antara PPATK dan Kapolri di Mabes Polri kemarin.
Selain Indonesia, keenam negara yang masuk daftar NCCT adalah Cook Islands, Guatemala, Myanmar, Nauru, Nigeria, dan Filipina. Menurut Husein, masuknya Indonesia ke dalam daftar NCCT itu amat merugikan dari sisi ekonomi.
Pasalnya, Indonesia digolongkan sebagai negara dengan risiko tinggi dalam transaksi keuangan dunia.
''Akibatnya, biaya transaksi keuangan semua lembaga keuangan Indonesia menjadi lebih sulit dan mahal karena dianggap berisiko tinggi,'' jelasnya seraya mencontohkan transaksi letter of credit (L/C) lembaga keuangan di Indonesia dengan lembaga keuangan asing tergolong sulit dan menelan biaya lebih mahal.
Untuk keluar dari daftar tersebut, serangkaian langkah telah dilakukan antara lain dengan menerbitkan UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, langkah ini dianggap belum cukup karena implementasi penanganan tindak pidana pencucian uang dinilai negara-negara yang tergabung dalam Financial Action Task Force on Money Laundering (FATC) masih belum memadai.
''Kita berpeluang besar keluar dari daftar NCCT jika berhasil mengusut secara tuntas dan mempidanakan pelaku-pelaku pembobolan BNI Kebayoran Baru. Dalam sidang CGI, pembobolan tersebut dianggap sebagai kasus besar,'' papar Husein.
Dia mencontohkan negara seperti Israel, Ukraina, dan India telah dikeluarkan dari daftar karena berhasil mengusut dan mempidanakan pelaku kasus besar terkait pencucian uang di negaranya masing-masing.
Sementara itu, penasihat hukum BNI Pradjoto mengatakan bahwa PPATK perlu menyampaikan kepada publik aliran dana dari kasus L/C tersebut. Sebab, aliran dana yang mampu ditelusuri PPATK akan menjadi kunci bagi upaya pengembalian dana kasus itu kepada negara.
''Data mengenai aliran uang itu ada di PPTAK. Di situ jelas terlihat transformasi uang tersebut. Semua yang menerima dana itu berkewajiban untuk mengembalikan dana itu. Karena itu, PPATK perlu membukanya,'' kata Pradjoto kepada Media, kemarin.
Dia mengatakan bahwa jika itu tidak dilakukan, sulit mengharapkan proses pemulihan dana L/C itu mencapai hasil maksimal. Sebab, manajemen BNI yang ada tidak dapat menjangkau sesuatu yang di luar kontrolnya. (Fud/JA/E-2)
Sumber: Media Indonesia, 17 Juni 2004