Penurunan Hukuman Bagian Mafia Hukum
Gayus Lumbuun: MA Hanya Bisa Batalkan atau Kuatkan Putusan
Pemberian keringanan hukuman bagi koruptor ditengarai sebagai bagian dari praktik mafia hukum. Tidak semestinya Mahkamah Agung menurunkan hukuman karena kewenangannya hanya menguatkan atau menolak putusan peradilan di bawahnya.
Pendapat itu dikatakan anggota Komisi III (Bidang Hukum) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, T Gayus Lumbuun, di Jakarta, Selasa (13/4). ”Dugaan negatif, penurunan hukuman bagi terpidana korupsi adalah bagian dari mafia hukum,” katanya saat ditanya soal pemberian keringanan hukuman bagi koruptor.
Namun, kalau dipandang dari sisi positif, menurut Gayus, keringanan hukuman itu diberikan lantaran hakim tidak memahami perundang-undangan. ”Mengapa putusan bisa berubah? Padahal, buku (undang-undang) yang dipakai hakim di pengadilan dan di Mahkamah Agung sama,” ujar Guru Besar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, itu.
Menurut Gayus, MA memiliki fungsi judexjuris. Artinya, memiliki wewenang untuk melihat filosofi penerapan hukum pada putusan tingkat pertama di pengadilan negeri dan putusan banding di pengadilan tinggi.
Oleh karena itu, menurut Gayus, MA cuma bisa membatalkan atau menguatkan putusan hakim di tingkat pertama atau banding. Bukan mengoreksi putusan hakim dengan mengurangi sanksi atau hukuman, seperti yang kerap terjadi pada kasus korupsi.
Salah satu contoh penurunan hukuman adalah bagi Arthalyta Suryani alias Ayin, terpidana kasus suap kepada jaksa Urip Tri Gunawan. MA mengurangi hukuman Ayin dari lima tahun penjara menjadi empat tahun enam bulan penjara.
Gayus juga berpendapat, pengurangan hukuman untuk terpidana kasus suap atau korupsi, seperti Ayin, mengusik rasa keadilan publik. Seharusnya pemberi suap dihukum lebih berat daripada penerima suap, bukan sebaliknya, seperti dalam kasus Ayin dan jaksa Urip.
Mulai ”masuk angin”
Secara terpisah, Emerson Yuntho, Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Selasa di Jakarta, menilai, hakim di tingkat banding dan kasasi yang menangani perkara korupsi diduga mulai ”masuk angin”. Tren penurunan hukuman di tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sejak 2009 hingga 2010 menjadi petunjuk mulai merasuknya mafia peradilan ke wilayah itu.
Tren penurunan hukuman itu terlihat dari beberapa kasus, seperti dugaan aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR, perkara suap kepada anggota DPR dan jaksa, serta kasus korupsi di instansi pemerintah.
Emerson menilai, terdapat sejumlah alasan mengapa di tingkat banding dan kasasi hukuman pada terdakwa korupsi cenderung menjadi lebih ringan, yakni proses pemeriksaan berkas yang tertutup, tidak terlalu tertariknya masyarakat mengamati putusan banding dan kasasi, dan lainnya.
””Orang telanjur percaya kepada institusi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kesan dicurigai jadi kecil karena pengadilan di tingkat pertama yang dinilai masih positif. Tetapi, kecenderungan terakhir, terutama pada 2009 dan 2010, banyak yang mulai ’masuk angin’. Apalagi pengawasan yang lemah dan publik tidak terlalu memantau,” kata Emerson.
Ia menambahkan, pengawasan internal (MA) dan eksternal (Komisi Yudisial) harus ditingkatkan kembali. Keberadaan hakim ad hoc tipikor yang selama ini dipercaya dan diharapkan perlu dilihat lagi. ”Apakah mereka masih on the track,” katanya.
Ketua Muda Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko, beberapa waktu lalu, menegaskan, MA tak pernah kehilangan komitmen untuk memberantas korupsi.
Tentang pengurangan hukuman untuk perkara tertentu, Djoko mengatakan, majelis hakim hanya berpikir tentang keadilan bagi terpidana. (nta/ana)
Sumber: Kompas, 14 April 2010