Penyelesaian ala Istana
Secara implisit, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan isyarat untuk menutup skandal proses hukum atas Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Isyarat semacam itu pula yang membuat nasib Bibit-Chandra tidak jelas. Padahal, salah satu masalah penting yang ditunggu publik dari pernyataan Presiden adalah kejelasan penyelesaian kasus yang dialami dua wakil ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.
Karena itu, menjadi masuk akal jika sejumlah kalangan merasa tak ada hal baru dari yang disampaikan Presiden. Penilaian atas pernyataan Presiden sebagai isyarat untuk menghentikan (dalam bentuk out of court settlement) skandal Bibit-Chandra lebih tepat dikatakan penafsiran positif atas sikap Presiden terhadap rekomendasi Tim 8 yang disampaikan pekan lalu. Berkaca dari rekomendasi Tim 8, yang hendak dituju adalah penyelesaian tuntas sehingga ada kejelasan atas banyak hal, termasuk nasib Bibit-Chandra.
Masalahnya, mengapa Presiden tidak memberikan pernyataan jelas dan eksplisit dalam menindaklanjuti rekomendasi Tim 8, terutama untuk penghentian kasus hukum Bibit-Chandra. Dengan cara seperti itu, kasus Bibit-Chandra berpotensi memasuki periode ketidakpastian dalam jangka panjang.
Pilihan sulit
Sulit dibantah, dari lima rekomendasi yang disampaikan Tim 8, hanya dua rekomendasi yang terbilang punya ”risiko tinggi”, yaitu menghentikan skandal proses hukum atas Bibit-Chandra dan menjatuhkan sanksi kepada para pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum yang dipaksakan itu. Kedua rekomendasi itu menyebabkan Presiden Yudhoyono berada dalam pilihan dan situasi sulit.
Sementara itu, karena harus dilakukan guna memperbaiki penegakan hukum di negeri ini, rekomendasi lain terbilang standar dan biasa-biasa saja. Bahkan, jika diletakkan dalam semangat ”akan memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi”, rekomendasi pemberantasan mafia hukum seharusnya telah dicanangkan sejak awal menjabat presiden.
Pilihan sulit untuk melaksanakan kedua rekomendasi itu tidak perlu terjadi jika Presiden mampu secara tepat memaknai tujuan pembentukan Tim 8. Sebagaimana diketahui, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2009, Tim 8 diberikan mandat untuk melakukan verifikasi fakta dan proses hukum atas kasus Bibit-Chandra. Dengan mandat itu, Presiden semestinya tidak perlu seperti memakan buah simalakama dalam menindaklanjuti hasil atau rekomendasi Tim 8.
Masalah yang sebenarnya terjadi karena sikap Presiden. Penyikapan itu dapat dilihat dari proses pelibatan polisi dan kejaksaan untuk membahas hasil rekomendasi Tim 8. Seharusnya, dengan membaca hasil dan rekomendasi Tim 8 yang lebih banyak terkait kedua institusi penegak hukum itu, Presiden tidak perlu terlalu jauh melibatkan polisi dan kejaksaan.
Terombang-ambing
Dengan melibatkan polisi dan kejaksaan, bisa dipastikan Presiden terombang-ambing di antara dua kutub berbeda. Di satu sisi, tidak mudah dan tidak mungkin mengabaikan rekomendasi Tim 8. Di sisi lain, sepertinya, Presiden tidak ingin membiarkan polisi dan kejaksaan kehilangan muka dengan melaksanakan rekomendasi Tim 8 secara utuh.
Dengan demikian, bisa jadi, pilihan Presiden merupakan pilihan kepolisian dan kejaksaan sebagai ”cara lain” untuk tidak melaksanakan penghentian proses hukum Chandra-Bibit.
Bagaimanapun, jika memilih salah satu dari tiga rekomendasi penutupan kasus Bibit-Chandra yang ditawarkan Tim 8, Presiden harus mengambil tindakan untuk melaksanakan rekomendasi berupa penjatuhan sanksi bagi para pejabat yang bertanggung jawab dalam proses hukum atas Chandra-Bibit. Banyak kalangan percaya, bagi Presiden, rekomendasi penjatuhan hukum tidak jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghentikan kasus Bibit-Chandra. Karena itu, Presiden menjadi tidak punya pilihan lain kecuali mengambangkan kedua rekomendasi Tim 8.
Dukungan istana
Sejak Tim 8 menyampaikan hasil dan rekomendasi kepada Presiden, penantian publik tertuju kepada nasib Bibit-Chandra. Bagimanapun, dengan memilih salah satu dari tiga pilihan (menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan/SP3, surat ketetapan penghentian penuntutan/SKPP; dan pendeponiran) yang dikemukakan Tim 8, nasib Bibit-Chandra bisa cepat diselesaikan. Padahal, kejelasan nasib Bibit-Chandra tidak hanya penting dalam memulihkan kepercayaan publik terhadap penegak hukum, tetapi juga menyangkut masa depan dan kepercayaan terhadap KPK.
Secara hukum, sekiranya Presiden memilih salah satu alternatif yang disodorkan Tim 8, status hukum yang disandang Bibit-Chandra menjadi lebih pasti. Namun, dengan keengganan memilih salah satu dari alternatif yang ditawarkan, rekomendasi Tim 8 tidak memberikan banyak manfaat untuk memperjelas nasib Bibit-Chandra. Hampir dipastikan, penyelesaian kasus Wakil Ketua (nonaktif) KPK ini berpotensi kian jauh dari rekomendasi Tim 8.
Karena itu, ketidakjelasan sikap Presiden terhadap penyelesaian kasus ini dapat dibaca sebagai cara lain untuk mencegah Bibit-Chandra masuk kembali ke KPK. Apalagi, saat-saat terakhir menjelang Yudhoyono menyampaikan sikap atas rekomendasi Tim 8, beredar rumor, pilihan untuk menghentikan proses hukum akan dilakukan jika Bibit-Chandra menerima opsi bersedia tidak lagi menjadi komisioner KPK.
Terlepas dari kebenaran rumor itu, ketidakjelasan sikap dalam menindaklanjuti rekomendasi Tim 8 bisa jadi merupakan gambaran sesungguhnya cara pandang Presiden terhadap Bibit-Chandra. Yang paling mencemaskan kita, jangan-jangan kejadian ini sekaligus menjadi potret dukungan istana atas agenda pemberantasan korupsi. Jika demikian, penyelesaian ala istana ini harus ditolak.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 November 2009