Penyelesaian Polemik Korupsi di Komisi Pemilihan Umum

Kesaksian lima orang yang mengakui bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin ikut rapat Komisi Pemilihan Umum dalam menentukan harga segel surat suara sesungguhnya sudah cukup memberatkan.

Apalagi alat bukti lain, seperti surat-surat penawaran surat segel suara dari rekanan KPU yang ditujukan kepada Hamid Awaludin, juga tersedia. Dari sisi teknis yuridis, ketika dua alat bukti sudah memadai, proses hukum bisa dilanjutkan ke tingkat penyidikan, yang biasanya diiringi dengan penetapan seseorang sebagai tersangka.

Sulitnya Komisi Pemberantasan Korupsi menyelesaikan kasus korupsi KPU, terutama dalam kasus korupsi surat segel suara, menyisakan tanda tanya besar. Kerisauan banyak pihak berujung pada dugaan adanya pengaruh politik yang kuat terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Jika demikian adanya, rasa pesimisme publik yang kian membesar dalam melihat prospek pemberantasan korupsi tak dapat dielakkan. Bagaimana mungkin KPK, yang memiliki posisi yang sangat independen dalam berhadapan dengan kekuasaan, ternyata harus tunduk pada mekanisme di luar hukum.

Jika melihat dari alotnya proses hukum yang tengah terjadi--khususnya ketika sudah menyangkut nama Hamid Awaludin--bisa dikatakan bahwa KPK tengah berada di arena pembuktian yang sesungguhnya. Arena yang bisa dimaknai sebagai laboratorium sosial-politik dengan desain tatanan baru, yang mengandaikan kehadiran lembaga pemberantasan korupsi yang mampu mengatasi tanpa syarat kekuasaan mana pun yang dapat menyetir proses hukum. Sebuah konsep yang kelahirannya sangat dipengaruhi oleh buruknya tradisi penegakan hukum kasus korupsi pada masa lalu.

Kita tentunya sudah mengetahui sendiri bahwa dalam periode sebelumnya, kekuasaan politik dalam kurun waktu yang cukup lama telah mengkooptasi kewibawaan hukum. Keberadaan KPK adalah usaha untuk membalikkan keadaan itu. Seandainya KPK berhasil melibas aral rintang politik ketika tengah memproses seseorang, legitimasi KPK sebagai institusi penegak hukum akan semakin menguat. Namun, jika KPK gagal menghadapinya, semangat pemberantasan korupsi yang telah didorong dalam beberapa tahun belakangan akan runtuh secara menyedihkan.

Karena itu, mengambangnya penuntasan perkara dugaan korupsi KPU secara keseluruhan dan tidak diprosesnya sejumlah mantan anggota KPU lain yang diduga kuat terlibat pada akhirnya menimbulkan kesan buruk di masyarakat. KPK dapat dipersepsikan tidak berani atau lumpuh dalam meneruskan proses hukum mantan anggota KPU.

Di sisi lain, KPK bisa dibilang telah berlaku diskriminatif karena hanya menjerat sebagian pelaku korupsi. Padahal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah memberikan kewenangan yang luar biasa terhadap KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi. Seharusnya dengan segala bekal kewenangan yang dimiliki KPK, kasus sesulit apa pun dapat diselesaikan dengan cepat dan berkualitas.

Yang perlu diingat, berlarut-larutnya penanganan KPK atas perkara korupsi KPU yang diduga melibatkan Hamid Awaludin--setidaknya sesuai dengan pengakuan memberatkan lima saksi--tidak hanya dapat menjatuhkan citra KPK sebagai aparat penegak hukum super, melainkan juga kepentingan KPK dalam konteks yang lebih luas. Bagaimanapun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin merupakan pejabat yang akan sangat menentukan panitia seleksi calon pemimpin KPK pada 2007.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana kualitas dan integritas pemimpin KPK mendatang jika proses seleksinya ditentukan, atau paling tidak dipengaruhi, oleh pejabat yang memiliki masalah dengan hukum. Dengan demikian, menunda penyelesaian perkara korupsi KPU dengan alasan politik atau adanya perlindungan politik sama artinya dengan KPK menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan lembaganya.

Skenario untuk menyelesaikan perkara korupsi KPU bukanlah tidak ada. Hakim pengadilan tindak pidana korupsi telah menyarankan agar Daan Dimara, terdakwa kasus korupsi segel surat suara, melaporkan kepada polisi ihwal keterangan palsu yang disampaikan Hamid Awaludin di depan pengadilan. Dari aspek prosedur dan legalitas, mekanisme tersebut memang jalan yang bisa ditempuh mengingat pemberian keterangan atau saksi palsu merupakan wilayah pidana umum. Tapi menyerahkan proses penyelidikan atas keterangan palsu atau kesaksian palsu kepada polisi merupakan problem tersendiri.

Ada beberapa alasan yang mendukung kesimpulan tersebut.

Pertama, kasus keterangan atau kesaksian palsu oleh Hamid Awaludin sebagaimana yang dilontarkan Daan Dimara bukan merupakan bagian yang terpisah dari perbuatan korupsi yang tengah disidangkan oleh pengadilan tipikor. Kesaksian Hamid Awaludin akan sangat menentukan putusan hakim, paling kurang putusan yang akan dijatuhkan kepada Daan Dimara sebagai terdakwa. Jika hakim menggunakan keterangan atau kesaksian palsu sebagai salah satu dasar untuk memvonis seseorang, keadilan sebagai hal yang paling esensial dalam hukum menjadi kehilangan makna. Alangkah baik jika perkara keterangan palsu ini juga diusut oleh KPK sebagai bagian tak terpisahkan dari perkara korupsi KPU yang tengah ditangani.

Kedua, keterangan palsu, yang menurut lima saksi dalam persidangan korupsi segel kertas suara dilakukan Hamid Awaludin, jika diusut oleh pihak kepolisian, akan menyita waktu dan tenaga ekstra. Secara administratif dan prosedural, memeriksa pejabat negara membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Hal itu disebabkan oleh adanya kewajiban bagi aparat penegak hukum untuk meminta permohonan izin dari presiden apabila akan memeriksa pejabat negara. Apalagi jika dilengkapi dengan proteksi politik dari pejabat berkuasa, proses hukum atas pidana pemberian keterangan palsu dapat dipastikan berlarut-larut.

Dengan macetnya pembuktian secara hukum atas pidana pemberian keterangan palsu, proses hukum yang kini tengah berlangsung di pengadilan tipikor otomatis mengalami gangguan. Padahal sesuai dengan Pasal 58 ayat 1 Undang-Undang KPK, pengadilan tipikor memiliki tenggat terbatas untuk mengadili sebuah perkara, yakni hanya 90 hari terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke pengadilan tipikor. Jalan keluar yang paling mungkin untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah adanya sikap proaktif dari KPK dalam memeriksa Hamid Awaludin, yang diduga telah memberikan keterangan/kesaksian palsu di pengadilan tipikor. Meskipun pemberian keterangan/kesaksian palsu masuk dalam wilayah pidana umum, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur masalah ini.

Dalam Bab III mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, khususnya pasal 22, disebutkan, Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, atau pasal 36, yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta. Pada kasus Hamid, ia bisa dianggap sebagai setiap orang yang memiliki kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi atau ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat 1.

Dengan demikian, tidak ada alasan KPK tidak mengusut kasus pemberian keterangan atau kesaksian palsu karena merupakan wilayah yuridiksinya. Bahkan pasal tersebut bisa menjadi pasal yang memberatkan seandainya keterlibatan mantan anggota KPU itu dalam kasus korupsi benar-benar terbukti.

Adnan Topan Husodo, ANGGOTA BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 23 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan