Penyelewengan Dana PPMK
Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) merupakan dana bergulir tanpa bunga atas dasar prinsip tribina; bina fisik/lingkungan 60%, bina ekonomi 20%, dan bina sosial 20%.
Sebagian besar dana itu dipinjamkan kepada masyarakat untuk usaha kecil skala rumah tangga seperti tukang cukur, pedagang bakso, dan tukang las. Hingga saat ini, menurut Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, dana PPMK yang digulirkan sebesar Rp2,4 miliar per kelurahan dengan catatan pada 2002 Rp250 juta, pada 2003 Rp500 juta, pada 2004 Rp750 juta, dan pada 2005 Rp1 miliar.
Pada 2006 dana PPMK dikurangi dan hanya dianggarkan Rp500 juta per kelurahan. Penurunan besaran aloasi anggaran itu terkait dengan akan dilakukannya evaluasi dana tersebut menyusul berakhirnya masa kepengurusan dewan kelurahan (dekel).
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Mara Oloan Siregar menyatakan pengawasan dana PPMK dilakukan masyarakat dibantu LSM setempat. Dengan mekanisme pengawasan seperti itu, setiap penyimpangan akan mudah diketahui, katanya.
Dengan berakhirnya periode masa jabatan dewan-dewan kelurahan 2006, akan dilakukan audit keuangan dan evaluasi secara menyeluruh. Dengan dilakukan audit menyeluruh, akan ketahuan seberapa efektif dana PPMK bisa digulirkan ke masyarakat, tuturnya.
Sutiyoso menambahkan dari 267 kelurahan, hanya tiga kelurahan yang gagal mengelola dana PPMK. Penyelewengan dana PPMK oleh tiga kelurahan itu terjadi pada 2002. Tiga kelurahan itu adalah Kelurahan Kelapa Dua, Kelurahan Serdang, dan Kelurahan Paseban.
Ada dekel yang membeli rumah seharga Rp150 juta, kemudian ada yang mengajak bini mudanya jalan-jalan ke Singapura, kata Sutiyoso di Jakarta, pekan lalu.
Meski ada yang diselewengkan, dana PPMK disadarinya sangat bermanfaat untuk masyarakat. Dan memang program ini memberi manfaat. Pernah suatu ketika, tangan saya diciumi oleh ibu rumah tangga yang meminjam uang Rp300 ribu dari dana PPMK, kata Sutiyoso.
Sementara itu, Azas Tigor Naenggolan dari LSM Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) mengharapkan penggunaan dana penguatan kelurahan dan kecamatan tidak seperti penggunaan dana PPMK yang banyak penyimpangannya.
Sesuai dengan Perda No 1 Tahun 2001, tidak disebutkan bahwa tugas dewan kelurahan mengelola dana PPMK. Ya akhirnya seperti yang banyak terjadi, ada penyimpangan dan kredit macet, katanya.
Program bina ekonomi yang mengucurkan dana segar ke masyarakat diselewengkan dekel dan tim penggerak kelurahan (TPK), yang bertugas membagikan dana PPMK. Seperti pengalaman saya, di tempat tinggal saya sendiri yakni di Kelurahan Palmeriam Kecamatan Matraman. Masa orang pinjam Rp1 juta, cuma dapat Rp900 ribu. Yang Rp100 ribu dipotong dekel dan TPK tanpa alasan yang jelas, katanya.
Tak hanya itu, ada istri anggota TPK yang mendapat dana Rp12 juta dan keluarga anggota TPK yang mendapat dana Rp20 juta. Akhirnya sampai sekarang, uang tidak kembali dan tidak ada laporan jelas. Mereka hanya tinggal bilang usahanya bangkrut, selesailah masalah, katanya.
Karena itu, ia menyarankan agar fungsi dekel dikembalikan seperti semula, yakni untuk mengontrol pembangunan kelurahan.
Dekel enggak boleh mengelola keuangan. Nah sekarang, karena ada dana penguatan kelurahan, dekel bersama warga, terutama ketua RT dan ketua RW mengawasi penggunaan dana itu. Lurah harus transparan, katanya. (Ray/J-3)
Sumber: Media Indonesia, 17 Januari 2006