Penyelidikan Kasus BLBI Molor Lagi; Kejagung Minta Tambahan Waktu

Kejaksaan Agung (Kejagung) gagal memenuhi janjinya untuk menyelesaikan penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada akhir 2007. Tim penyelidik justru minta tambahan waktu dua bulan hingga Februari 2008 untuk menuntaskan kasus bernilai triliunan rupiah tersebut. Ini merupakan penundaan kali kedua sejak penyelidikan per Juli 2007.

Tim penyelidik beranggota 35 jaksa pilihan awalnya mematok penyelesaian tiga bulan hingga September 2007. Selanjutnya, minta perpanjangan dua bulan. Kami minta perpanjangan dua bulan lagi, kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya Rahman dalam acara laporan tahunan kinerja kejaksaan di gedung Kejagung kemarin.

Menurut Kemas, kejaksaan menemui berbagai kesulitan menyelesaikan penyelidikan dua kasus BLBI sesuai target. Dua kasus itu adalah penyelesaian BLBI terkait obligor Anthony Salim (Grup Salim) dan Sjamsul Nursalim (BDNI). Dua kasus itu kan kasus lama. Semakin lama, semakin sulit (diselesaikan). Selain hilangnya alat bukti, ada saksi yang berpindah alamat, ungkap Kapuspenkum di era Jaksa Agung M. A. Rachman itu. Padahal, kejaksaan telah bekerja sama dengan Depkeu dan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).

Kemas menambahkan, sejumlah saksi yang dipanggil juga belum datang. Di antaranya, tim appraisal asing, yakni Lehmann Brothers. Kami juga akan minta keterangan para ahli dari MAPI (Masyarakat Profesi Penilai Indonesia), jelas Kemas.

Dari total para saksi yang diperiksa, untuk kasus BLBI Grup Salim telah diperiksa 27 saksi, termasuk Anthony. Sedangkan kasus BDNI, kejaksaan memanggil 24 saksi.

Ditanya pemanggilan Sjamsul Nursalim yang disebut-sebut menetap di luar negeri, Kemas hanya menjawab, pada saatnya akan diperiksa. Kami menyelidiki penurunan aset, bukan soal jaminan pengacara terkait bepergiannya (Sjamsul) ke luar negeri, tandas mantan kepala Kejati Jambi itu. Kejaksaan juga tidak mengutak-utik SKL (surat keterangan lunas) dan penerbitan SP3 atas kasus Sjamsul.

Menurut Kemas, kejaksaan berfokus potensi kerugian negara terkait penyerahan aset Sjamsul yang mengalami penurunan dari Rp 27 triliun menjadi Rp 2 triliun saat dijual BPPN.

Selain menyelidiki dua kasus BLBI, lanjut Kemas, kejaksaan menangani 16 kasus BLBI dengan obligor tidak kooperatif. Kasus-kasus tersebut terkait penyaluran, penggunaan, dan penyelesaian kewajiban BLBI, ujar Kemas. Rinciannya, antara lain, tiga kasus BLBI yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dengan terpidana tiga mantan direksi Bank Indonesia (BI) Paul Sutopo, Hendro Budiyanto, dan Heru Supraptomo.

Selanjutnya, delapan kasus obligor yang tidak menandatangani penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS). Mereka adalah kasus Bank Deka (obligor Deka dkk), Bank Centris (AT dkk), Bank Aspack (Setiawan Harjono), Bank Central Dagang/BCD (HT dkk), Bank Dewa Rutji (SN dkk), Bank Orient (KB dkk), Bank Arya Pandu Artha, dan Bank Dharmala. Dari kasus-kasus tersebut, baru satu kasus yang telah inkracht dengan terpidana Setiawan Harjono, beber Kemas. Untuk kasus BCD dan Bank Deka, penelitiannya telah dihentikan. Bank Centris dan Orient masih diselidiki. Kasus Bank Arya Pandu Artha diserahkan ke JAM Perdata dan TUN. Dua kasus lainnya masih dalam tahap penelitian.

Kemas juga mengomentari keberadaan obligor BLBI Agus Anwar yang disebut-sebut ikut konferensi UNFCCC di Nusa Dua, Bali, beberapa waktu lalu. Dari penyelidikan kami, belum ada bukti kuat keberadaan Agus Anwar, jelas Kemas.(agm)

Sumber: Jawa Pos, 3 Januari 2008
----------
Sudah Pakai Yel-yel, Korupsi BLBI Tak Kunjung Selesai

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman sepertinya memang punya cara jitu untuk menarik perhatian. Dalam jumpa pers awal tahun 2008 di Kejaksaan Agung, Rabu (2/1), Kemas mengawali dengan menceritakan bahwa jajarannya kini punya yel-yel khusus.

Berantas korupsi! teriak Kemas lantang, tiba-tiba.

Yes! jawab jaksa-jaksa Bagian Tindak Pidana Khusus, yang duduk di barisan belakang.

KKN! teriak Kemas lagi.

No! jawab jaksa-jaksa lagi.

Yel-yel itu, kata Kemas, mampu menjadi penyemangat jaksa di Bagian Tindak Pidana Khusus, terutama saat menggeluti perkara korupsi.

Namun, keampuhan jargon penyemangat itu jadi tak terasa saat berhadapan dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Penyelidikan dua kasus BLBI yang sudah ditangani tim khusus, langsung di bawah pimpinan Kemas Yahya Rahman, belum juga tuntas. Padahal, penyelidikan sudah dilakukan sejak 23 Juli 2007.

Semula, tim diberi waktu tiga bulan untuk menuntaskan penyelidikan itu, kemudian diperpanjang lagi dua bulan, hingga akhir Desember 2007. Namun, belum juga selesai. Kedua kasus BLBI itu berkaitan dengan penyerahan aset oleh obligor BLBI, yakni Bank Central Asia dan Bank Dagang Negara Indonesia. Aset yang semula dikatakan nilainya setara sejumlah utang pemegang saham ternyata saat diaudit nilainya jauh merosot.

Kemas berkilah, ada beberapa hal yang perlu dimintakan penjelasan sehingga penyelidikan tak kunjung selesai. Lehman Brothers, salah satu auditor yang ditunjuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional, juga belum dapat dimintai keterangan. Selain itu, ada dokumen asli yang belum diperoleh, ujarnya.

Untuk kasus BLBI I yang berkaitan dengan BCA, sudah 27 orang dimintai keterangan, termasuk pengusaha Anthony Salim. Untuk kasus BLBI II yang terkait dengan BDNI, sudah 24 orang dimintai keterangan.

Menurut Kemas, perkara BLBI bukan perkara mudah. Ia meminta masyarakat untuk memberi jaksa kesempatan menyelesaikan penyelidikan tersebut. Jangan dulu curiga. Kasus BLBI ini diberi waktu lagi dua bulan untuk menyelesaikan penyelidikan, kata Kemas.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho yang dihubungi Kompas, Rabu malam, menyatakan, perpanjangan waktu penyelidikan kasus BLBI sudah dapat diduga sebelumnya. Sebaiknya kejaksaan jangan banyak janji. Lakukan saja tindakan konkret, ujarnya. (IDR)

Sumber: Kompas, 3 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan