Penyiasatan Anggaran Pendidikan 20 Persen
PRESS RELEASE
Penyiasatan Anggaran Pendidikan 20 Persen
Dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pada tahun anggaran 2009 pemerintah akan memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, jumlahnya dapat mencapai Rp 224 triliun
Akan tetapi, alokasi 20 persen yang disebutkan pemerintah telah berbeda dari rumusan awal baik yang dijelaskan dalam Undang-Undang 20/2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional maupun rumusan yang dibuat bersama antara Departemen Pendidikan Nasional dan Dewan Perwakilan Rakyat. Anggaran pendidikan didefinisikan sebagai anggaran fungsi pendidikan di luar anggaran untuk gaji pendidik dan pendidikan kedinasan yang prosentasenya dihitung berdasarkan anggaran belanja pusat.
Penyebabnya, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sisdiknas sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan” bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, pemerintah diwajibkan memasukan gaji pendidik dalam anggaran pendidikan 20 persen.
Putusan MK merupakan ancaman serius bagi masa depan pendidikan Indonesia. Dari sudut anggaran, akan terjadi ketimpangan dalam pembiayaan. Alokasi biaya rutin, terutama pembayaran gaji dan tunjangan penyelenggara pendidikan pasti membengkak. Konsekuensinya, alokasi pelayanan dan peningkatan kualitas belajar mengajar seperti perbaikan dan perawatan gedung sekolah serta penyediaan buku pelajaran berkurang secara drastis.
Dalam Undang-Undang 20/2003 mengenai sistem pendidikan nasional, pengertian pendidik sangat luas. Pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Artinya, komponen biaya rutin seperti gaji yang akan dimasukan dalam anggaran pendidikan jauh lebih banyak dari perkiraan sekarang. Sudah pasti dalam proses penganggaran, pembayaran gaji akan menjadi prioritas. Sedangkan program untuk membuka akses bagi warga dan meningkatkan kualitas pelayanan tinggal menunggu sisa anggaran.
Dimasukanya gaji pendidik merupakan anti-klimaks dari dari pemenuhan anggaran pendidikan. Pemerintah lupa bahwa substansi dari amanat UUD 1945 yang mewajibkan tersedia anggaran 20 persen untuk sektor pendidikan bukan hanya agar pemerintah bisa menyediakan hak dasar bagi warga, tapi juga karena pendidikan merupakan kebutuhan yang amat penting setelah merdeka.
Sikap pemerintah yang terus berupaya menyiasati pemenuhan alokasi anggaran 20 persen untuk sektor pendidikan berangkat dari dua hal. Pertama, tidak ada niat baik pemerintah untuk memenuhi amanat konstitusi. Atau, kedua, pemerintah tidak menempatkan pendidikan sebagai sektor prioritas dalam mendorong kemajuan bangsa. Dua logika ini seperti gayung bersambut dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memasukan gaji pendidik dalam item biaya pendidikan. Dari aspek pendidikan, anggaran, hukum tata negara dan bahkan hak asasi manusia, risalah eksaminasi publik ini mengupas sesat pikir dan upaya kamuflase atau pensiasatan anggaran pendidikan 20%.
Terdapat beberapa poin yang penting diperhatikan:
§
Pemenuhan anggaran pendidikan ternyata lebih sekedar sebagai pencapaian politis ketimbang itikad baik pemenuhan kewajiban negara dan penjaminan penegakan hak asasi manusia untuk menikmati pendidikan.
§
Perhitungan pemerintah, bahwa imlplikasi dari putusan MK yang menyatakan APBN 2008 pada bidang pendidikan dengan memasukan komponen gaji pendidik meningkat dari 11,8% menjadi 18% adalah tidak benar.
§
Ketentuan anggaran minimal 20 persen dari APBN/APBD itu sudah dinyatakan secara expres verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Hal inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang membuat norma baru dengan menyatakan bahwa pemenuhan anggaran pendidikan dapat dilakukan secara bertahap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
§
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan N. 24 ini cenderung hanya menggunakan jenis penafsiran yang bernuansa tekstual. MK (minus dissenter) sama sekali tidak mengelaborasi lima model argumen konstitutionalitas yang ada.
§
Dari perspektif Hak Asasi Manusia, kewajiban bertindak negara menjadi argumentasi dasar tanggungjawab negara dalam pembiayaan pendidikan.
§
Dalam Komentar umum Pada Pasal 14 tersebut Komite Ekosob PBB menguloamg kembali karakter wajib ketentuan tersebut dan menekankan bahwa kesulitan-kesulitan di bidang ekonomi, keuangan, dan kesulitan-kesulitan lain “tidak dapat melepaskan negara dari kewajiban mereka untuk menetapkan dan menyerahkan rencana aksi kepada komite ini. Bila negara melepaskan kewajibannya maka dianggap sebagai pengabaian.
§
Dari segi Hak Asasi manusia Pertimbangan MK dengan siasat konstitusi seperti diatas yang bertujuan agar ketentuan Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 terpenuhi, (karena memang apabila gaji pendidik yang PNS dimasukkan, dipastikan kewajiban pemerintah dalam angaran akan mudah terpenuhi, karena saat ini saja, anggaran tersebut bila di gabung sudah berkisar antara 18–19% dari APBN). Sungguh-sungguh merupakan bentuk pengabaian atas hak pendidikan yang harusnya di nikmati masyarakat.
Jakarta, 12 September 2008
Koalisi Pendidikan
Indonesia Corruption Watch