Perahu Pukat Harimau
Dalam proses seleksi pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, (sebagian) partai politik berubah menjadi mesin uang. Begitu proses pencalonan dibuka, partai politik pun meraup uang bagi mereka yang berminat. Mirip dengan pukat harimau, jumlah uang yang diraup juga bervariasi, mulai dari ratusan juta rupiah sampai dengan (tawaran) ratusan miliar rupiah.
Setidaknya, testimoni Slamet Kirbiyantoro memberikan Rp 1,5 miliar kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Djasri Marin memberikan Rp 2 miliar kepada PDI-P dan Partai Persatuan Pembangunan (http:// www. antikorupsi. org) cukup untuk menjelaskan bagaimana partai politik (parpol) bekerja menjadi mesin uang. Jika ditambah dengan keterangan yang pernah dilansir Faisal Basri dan Sarwono Kusumaatmadja, mesin uang itu bekerja seperti pukat harimau.
Celah hukum
Sepak terjang partai politik meraup uang dalam penentuan pasangan kepala daerah tidak terlepas dari celah hukum (loop holes) dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Misalnya, kalau uang dari mereka yang berminat menjadi pasangan calon dikategorikan sebagai sumbangan [Pasal 18 Ayat (1) UU No 31/2002], sanksi hanya ditujukan kepada penyumbang dan pengurus parpol yang menerima sumbangan melebihi batas maksimum.
Dengan ketentuan itu, parpol terbebas dari ancaman sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap batas maksimum penerimaan sumbangan. Barangkali, karena alasan itu juga, jika sumbangan dari mereka yang berminat menjadi pasangan calon terungkap ke permukaan, parpol cenderung mengatakan bahwa penarikan sumbangan bukan merupakan kebijakan parpol melainkan tindakan oknum pengurus parpol. Karena tidak ada ancaman bagi parpol, fase seleksi internal potensial digunakan menjadi mesin uang.
Di samping tidak adanya ancaman terhadap parpol, ancaman pidana bagi penyumbang dan penerima sumbangan terlalu ringan. Penyumbang hanya diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 200 juta sementara pengurus parpol yang menerima sumbangan melebihi batas maksimum diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Melihat jabatan politik yang akan diraih dan posisi politik penerima, ancaman sanksi tersebut sulit untuk menghentikan terjadinya praktik politik uang dalam proses seleksi kepala daerah. Tambah lagi, formula sanksi dengan menggunakan rumusan dan/atau memberi ruang kepada hakim untuk hanya menjatuhkan sanksi denda semata, tanpa pidana penjara.
Sanksi bagi partai politik
Meskipun demikian, di tengah celah hukum yang ada, pelanggaran atas ketentuan batas maksimum terutama bagi penerima sumbangan harus ditindaklajuti untuk melacak apakah tindakan oknum partai (kalau memang oknum) merupakan inisiatif pribadi atau kepanjangan tangan parpol.
Jika ditelusuri segala bentuk penyimpangan sumber dan penerimaan uang dalam setiap pemilihan yang ada (pemilihan umum presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah), pelanggaran yang dilakukan tidak berdampak langsung kepada partai politik. Oleh karena itu, dalam rangka revisi paket undang-undang bidang politik, harus dirumuskan sedemikian rupa ancaman sanksi bagi parpol yang terlibat (langsung maupun tidak langsung) menerima sumbangan melebihi batas maksimum serta melakukan politik uang.
Salah satu caranya, orang- orang yang dicalonkan oleh parpol (baik dalam pemilihan umum anggota legislatif, presiden, dan kepala daerah) di samping yang bersangkutan dapat dibatalkan sebagai calon, partai politik yang mencalonkan juga diancam dengan sanksi tertentu. Misalnya, parpol yang terlibat menerima sumbangan melebihi ketentuan dan melakukan politik uang dilarang ikut pemilihan umum periode berikutnya.
Tidak hanya itu, akan menjadi lebih baik kalau pelanggaran atas ketentuan menerima sumbangan melebihi batas maksimum dan melakukan politik uang dijadikan sebagai salah satu klausul untuk dapat membubarkan parpol. Kalau itu terjadi, alasan pembubaran parpol menjadi akan lebih konkret jika dibandingkan dengan ancaman pembubaran karena melanggar larangan menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau faham Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Terkait dengan sanksi bagi parpol tersebut, Wapres Jusuf Kalla mengaku kecewa dengan adanya pensiunan jenderal yang bakal dicalonkan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta harus menyetorkan sejumlah dana kepada parpol. Oleh karena itu, Kalla meminta kasus itu diusut sampai tuntas karena dapat merusak tatanan demokrasi yang tengah dibangun di Indonesia (Kompas, 23/6).
Sebagai ketua partai dengan jumlah kursi terbesar di DPR, Kalla tidak boleh berhenti kecewa sampai pada dorongan untuk mengusut kasus tersebut sampai tuntas. Kalau memang kecewa, Kalla seharusnya memerintahkan semua anggota Partai Golkar di DPR memperjuangkan sanksi yang lebih berat bagi mereka yang memberi dan menerima sumbangan melebihi batas maksimum. Ancaman sanksi tidak terbatas pada mereka yang melakukan, tetapi juga bagi parpol yang terkait dengan mereka yang melanggar batas maksimum sumbangan.
Calon perseorangan
Saya percaya, di samping celah hukum dan ancaman sanksi yang terbilang ringan, penyebab lain meluasnya praktik jual beli dukungan politik juga terjadi karena pintu untuk menjadi pasangan calon (baik kepala daerah maupun presiden) hanya melalui parpol. Dengan pembatasan itu, parpol memonopoli proses pencalonan sehingga dengan mudahnya menentukan tarif bagi mereka yang berminat menjadi pasangan calon.
Oleh karena itu, agar parpol tidak menjadi mesin uang dalam setiap proses pencalonan dalam agenda pemilihan umum, celah hukum yang ada harus segera ditambal dengan memperluas dan memperberat sanksi. Khusus dalam pengajuan pasangan calon (baik kepala daerah maupun presiden) harus ada ruang munculnya pasangan calon yang tidak berasal dari jalur parpol. Jika tidak, parpol betul-betul akan menjadi perahu pukat harimau.
Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 Juni 2007