Peran Negara dan Pasar Harus Dipisah; Politisasi Rugikan BUMN

Sebagian besar kerugian BUMN disebabkan kentalnya politisasi dan budaya birokrasi di perusahaan negara tersebut.

Banyak BUMN yang merugi sehingga layanan publik pun kurang memuaskan. Karena itu, kooptasi birokrasi harus dilepaskan dari BUMN, kata Wakil Ketua Komisi VI DPR Ade Komaruddin dalam diskusi tentang kinerja BUMN, di Jakarta, kemarin.

Menurut Ade, kebijakan yang dihasilkan manajemen BUMN harus diminimalisasi dari intervensi politik. Sehingga, keinginan melaksanakan program-program BUMN untuk melayani masyarakat dan menyumbang pendapatan negara bisa berjalan. Kooptasi budaya birokrasi menyebabkan sejumlah BUMN tidak kompetitif dalam persaingan global saat ini.

Pemerintah saat ini juga harus cepat menangani BUMN yang merugi ini, seperti PT Kertas Kraft Aceh dan pabrik kertas Letjes di Jawa Timur.

Ini terkait dengan kepentingan publik. Baru kemudian kita bicara strategi yang lebih besar, jelas Ade Komaruddin.

Sejumlah BUMN yang mengalami kerugian pada 2004 adalah PT Inka, PT Boma Bisma Indra, PT ASEAN Aceh Fertilizer, PT Pelni, PT Inhutani, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Pos Indonesia, dan Perum Damri.

Menyikapi intervensi politik di BUMN, pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy mengatakan, sudah saatnya pemerintah memutuskan pengaruh parpol pada BUMN dengan meminimalkan penunjukan politik pada jajaran direksi dan meningkatkan penunjukan profesional.

Pasalnya, selama ini BUMN merugi terjadi akibat ongkos politik yang dibayar dibebankan ke anak-anak perusahaan. Sehingga tidak terlacak. Hal ini tidak akan terjadi kalau dibuat induk perusahaan BUMN pada sejumlah sektor, papar Noorsy.

Ideologi dasar
Sementara itu, ekonom UI Faisal Basri berpendapat campur tangan politik ke dalam BUMN saat ini karena belum adanya ideologi dasar dari negara dalam mengatur peran negara dan peran pasar.

Saya kira memang ada kesengajaan untuk mengaburkan peran negara dan peran pasar, sehingga para politikus dapat merambah ke mana-mana, kata Faisal.

Diakuinya, privatisasi BUMN tidak berarti hilangnya inefisiensi dalam pengelolaan perusahaan atau industri strategis di Indonesia. Menurut Faisal, privatisasi saat ini ternyata juga menguntungkan para maling, yang mengambil keuntungan dari proses privatisasi tersebut. Privatisasi tidak beres jika ideologi ekonomi negara tak dituntaskan pembahasannya, kata Faisal.

Menurut dia, industri pabrik gula mestinya sudah diprivatisasi karena keberadaannya sengaja dibuat tidak efisien dan merugikan para petani.

Seharusnya pabrik-pabrik gula itu diserahkan saja pada petani karena hidup matinya pabrik gula bergantung pada pasokan tebu dari petani, katanya.

Selain itu, pengamat CIDES Umar Juoro memaparkan kinerja BUMN harus terus mengalami perbaikan karena pendapatan tahun ini menurun dari target RAPBN 2005 Rp10,59 triliun menjadi hanya Rp8,9 triliun. Target penerimaan negara dari privatisasi BUMN sebesar Rp3,5 triliun juga belum terealisasi.

Sementara itu, dalam lokakarya nasional Holding Company di Jakarta kemarin, mantan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Judohusodo mengimbau agar mempertimbangkan rencana privatisasi dalam pembentukan holding company di BUMN perkebunan.

Menurut Siswono, dalam lima tahun terakhir ada kenaikan performa BUMN perkebunan, khususnya di PTPN III. Laba yang dihasilkan PTPN III pada 2004 naik hingga dua kali lipat. Sebetulnya manajemen kontrolnya yang harus ditingkatkan, tanpa harus privatisasi, katanya. Laba PTPN III pada 2003 sebesar Rp204,93 miliar menjadi Rp406,749 miliar pada 2004, atau naik 97,29%.

Mengenai manajemen kontrol, Siswono mengatakan sebaiknya pengawasan harus lebih banyak dilakukan pemerintah. Artinya, jika ada BUMN yang memerlukan sumber pembiayaan tambahan, pemerintah boleh mengizinkan investor masuk. Tapi harus dibatas setidaknya maksimal 25% saja, sehingga pengaturan tetap dikuasai negara, katanya.(Wis/*/E-4).

Sumber: Media Indonesia, 9 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan