Perguruan Tinggi dan Peradaban
Dengan atau tanpa apologi, kita dapat bercerita banyak tentang keberhasilan kita dalam berbagai sektor pembangunan, baik fisik maupun nonfisik. Kita dapat menunjukkan beragam angka statistik tentang keberhasilan itu di berbagai sektor seperti pendidikan, ekonomi, infrastruktur, politik, budaya dan lain-lain.
Tapi di tengah retorika keberhasilan itu, kita juga dapat bicara konkret dan fakta yang terjadi belakangan untuk mengukur makna keberhasilan itu. Di tengah beragam kasus korupsi yang hampir menyita semua headline media massa di negeri ini tiap hari dari mulai Bank Mandiri, BLBI, KPU, Jamsostek, PLN, dana haji, kasus APBD di beberapa daerah dan lain-lain, kita juga dimeriahkan dengan rencana kenaikan gaji PNS dan anggota DPR RI 100% yang merasa kurang dengan gaji 18 juta/bulan dan akan naik menjadi 39 juta/bulan belum termasuk tunjangan ini-itu.
Di sisi lain, kita melihat kehidupan di tingkat masyarakat yang belakangan menjadi isu utama juga seperti meluasnya penyakit busung lapar, polio, kurang gizi, lebih tragis ada kasus beberapa anak sekolah yang bunuh diri karena malu tidak bisa bayar SPP dan beberapa kasus tragedi lain di negri ini yang menggambarkan kemiskinan yang sangat akut.
Fakta ini begitu kontras, di satu pihak mereka bermasalah karena kelebihan uang akibat menyalahgunakan uang negara, sementara di pihak lain, rakyat sengsara bahkan sulit makan sekadar memenuhi kebutuhan pokok. Mereka kesulitan mendapatkan uang dan sangat miskin.
Dilihat dari perspektif manajemen, ini terlihat bahwa manajemen keuangan negara sangat tidak benar karena distribusinya menjadi dapat mudah disalahgunakan dan hanya menguntungkan sekelompok orang tertentu. Terlebih bahwa sistem sanksi dan penegakan hukumnya sangat rendah sehingga wajar jika kasus seperti ini terus terulang tanpa ada penyelesiaan tuntas. Jika hukum dan aturan saja dapat dipermainkan dan malah begitu rapuh untuk menghukum para tersangka, bagaimana lagi kita bicara yang sifatnya moral, nilai-nilai, integritas pribadi, dedikasi, ideliasme dan pengorbanan para pengelola negeri ini? Sebab, mereka lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dan keluarganya ketimbang rakyat yang diayominya.
Kalau kita bandingkan mereka dengan para founding fahters yang mendirikan negara ini seperti membandingkan emas dengan loyang, jaraknya seperti bumi dan langit. The founding fathers sangat teguh dalam idealisme sehingga mereka rela berkorban, berjuang, dipenjara, sengsara dan bahkan mati untuk bangsa dan negara. Tapi bandingkan dengan para pengelola negeri sekarang, mereka sangat rendah intelektualnya, apalagi ideliasmenya, sehingga sangat sulit diminta untuk berkorban. Mereka bahkan lebih suka meminta hak ketimbang kewajiban, sangat pamrih dengan pekerjaan sedikit dan cenderung meminta imbalan. Dana dan fasilitas untuk rakyat pun dengan teganya disunat, tak terkecuali dana umat yang bersifat sakral sekalipun.
Reformasi yang digulirkan untuk memberantas KKN terbukti belum mampu mengatasi keadaan kalau bukan malah semakin meningkatkan eskalasi dan wilayahnya menjadi semakin luas. Oleh karena itu, jika sekadar imbauan moral, ratapan doa, fatwa ulama untuk mengatasi kondisi seperti ini belum tentu efektif. Mengatasi masalah harus dibarengi dengan keteladanan pimpinan serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu, sehingga ada shock therapy dan tindakan preventif bagi mereka yang akan berbuat serupa.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa etika, moral dan kepatutan serta keadaban publik menjadi persoalan langka di negeri ini. Setiap hari ini kita disuguhi media dengan berbagai persoalan korupsi, penyalahgunaan wewenang, arogansi kekuasaan dan suap. Sementara di sisi lain secara diametral kita melihat tragedi, bencana, polio, busung lapar dan muntaber akibat kemiskinan yang sangat.
Peran PT
Sebagaimana hidup ini yang selalu berubah, demikian juga dengan dunia universitas senantiasa berubah. Hal ini karena ilmu pengetahuan harus selalu dinamis dan berkelanjutan dengan sarananya adalah dosen, mahasiswa, dan karya-karya ilmiahnya. Sehubungan dengan itu, pencerminan dari kemajuan kebudayaan bangsa akan direfleksikan oleh kemajuan dunia perguruan tinggi yang ada pada bangsa tersebut. Inilah yang menyebabkan perguruan tinggi selalu diminta untuk bertanggung jawab memperbaiki keadaan bangsa dan cenderung selalu masih dipercaya oleh masyarakat.
Perguruan tinggi adalah bagian dari masyarakat pendidikan pada jenjang tertinggi. Oleh karena itu, seperti dikatakan Djoko Santoso (2005), menjadi wajar apabila menjadi garda terdepan dalam penegakan tata nilai, sebagai dasar untuk menciptakan masyarakat jujur dan cerdas. Sesuai dengan sifatnya, dinamika di dalam kampus akan mengalir terus sebagaimana ilmu pengetahuan yang senantiasa selalu terbarukan sejalan dengan kemajuan cara berpikir manusia. Kampus adalah satu-satunya lembaga yang proses pembaruan sumber daya insaninya berubah dengan cepat, karena mahasiswa selalu berganti dalam kurun waktu ke waktu harus berubah sesuai dengan perubahan keadaan masyarakat di luar kampus.
Di sisi lain, kemajuan ilmu pengetahuan juga berjalan dengan cepat yang senantiasa harus diantisipasi oleh masyarakat kampus. Jika mahasiswa yang diluluskan ternyata kedaluwarsa, sulit bagi mereka untuk bekerja di masyarakat, apalagi sebagai pelopor pembuat pekerjaan baru di masyarakat.
Budaya yang diciptakan di dalam kampus ini nantinya akan dibawa oleh para lulusan keluar di masyarakat. Interaksi mereka dengan masyarakat di luar kampus akan menjadikan bentuk baru dari masyarakat yang lebih besar. Namun jika budaya di suatu kampus sangat dominan, tidak mustahil mereka akan dapat menciptakan bentuk masyarakat yang merefleksikan asal dari kampusnya. Pengertian semacam ini membuat tanggung jawab atas perkembangan budaya bangsa menjadi besar. Jika masyarakat kampus senantiasa tidak dapat meletakkan dasar budaya yang dijadikan rujukan, sulit bagi bangsa tersebut untuk bisa memerankan jati dirinya secara bermakna di lingkungan antar bangsa.
Dalam hal ini, kita sangat sepakat dengan Rektor ITB bahwa pendidikan harus mampu membuat masyarakat jujur dan cerdas. Dengan masyarakat yang jujur dan cerdas niscaya akan mampu membawa suatu bangsa menjadi bangsa yang bermakna bagi umat manusia. Ke depan bentuk masyarakat yang kita inginkan ialah masyarakat jujur dan cerdas.
Masyarakat jujur ialah masyarakat yang anggota masyarakatnya berani menyampaikan sesuai kenyataan (tidak berbohong). Kejujuran memungkinkan seseorang untuk melakukan evaluasi diri dengan baik karena berani mengakui kekurangannya dan siap untuk memperbaiki.
Di sisi lain, kejujuran akan menjadikan kemampuan untuk menyatakan kelebihannya. Masyarakat cerdas artinya merupakan masyarakat yang berdaya. Sehingga mampu mandiri dapat menerapkan demokrasi dengan benar dan memiliki budaya tahu peradaban dan tanggap terhadap perubahan. Masyarakat cerdas hanya dapat dibentuk melalui pendidikan yang benar. Pendidikan yang benar ialah pendidikan yang mampu membuat seseorang menjadi dapat berkreasi atau berinovasi secara maksimal sesuai dengan potensi masing-masing.
Dengan demikian, kombinasi antara kejujuran dan kecerdasan ini diharapkan akan mampu melahirkan masyarakat Indonesia yang lebih beradab. Sebab jika kita renungkan, setelah 60 tahun merdeka, kita sering malu sebagai bangsa karena moralitas, integritas dan ideliame kita justru jatuh tersungkur. Bahkan, meski kita mendapat label negara terkorup, kita masih pongah dan tidak tahu diri.
Barangkali jika para founding fathers kita dapat berbicara, mereka akan sangat sedih melihat para pewaris negeri ini justru telah menjadi para kolonialis terhadap bangsanya sendiri. Melihat hal seperti itu, saatnya kita belajar dari mereka tentang idealisme, pengorbanan, intelektualisme, kebijakan dan integritasnya terhadap negeri tercinta.
Prof. Dr. H.M. DIDI TURMUDZI, M.Si., Rektor Unpas, Sekjen PB Paguyuban Pasundan
Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 20 Juli 2005