Perihal Komisioner KPK
Eddy OS Hiariej dalam tulisan ”Komposisi Pimpinan KPK” (Kompas, 28/7) menuliskan bahwa setidaknya ada tiga alasan mengapa komposisi pimpinan KPK harusnya memasukkan unsur kejaksaan dan kepolisian.
Selain menyatakan ada peraturan perundangan yang dapat dibaca demikian, juga adanya kebutuhan basis pengetahuan yang kuat dari para komisioner soal teknis penyidikan dan penuntutan. Selain itu, unsur kejaksaan dan kepolisian akan membantu dalam proses relasi kelembagaan untuk suksesnya tugas KPK, semisal koordinasi dan supervisi.
Tulisan itulah yang saya analisis dalam artikel saya, ”Komisi Perwakilan Kejaksaan/Kepolisian” (Kompas, 6/8), yang intinya menyatakan ketiga alasan tersebut sesungguhnya tak dapat serta-merta dibaca demikian. Sebab, peraturan perundang-undangannya tidak dapat dibaca demikian secara letterlijk, secara historis juga tak ada bukti otentik relasi kausal sumbangan komisioner dari unsur kejaksaan dan kepolisian di KPK dalam perbaikan tugas KPK di monitoring dan supervisi. Titik berat penyidikan dan penuntutan sesungguhnya berada di penyidik dan penuntut umum di KPK dan bukan pada komisioner KPK.
Pada tulisan ”Pilah Pilih Komisioner KPK” (Kompas, 26/8), tulisan saya tersebut dianalisis oleh Eddy OS Hiariej dengan mengatakan bahwa seharusnya ada penafsiran lain (yang ia sebut sebagai konsep penafsiran harmoniserende dan doktriner) yang dapat digunakan untuk memahami mengapa unsur jaksa dan polisi amat perlu dipertimbangkan dalam komposisi KPK. Lalu titik berat penyidikan dan penuntutan di KPK meski berada di penuntut umum dan penyidik tetapi perlu diketahui oleh komisioner agar dapat mengoreksi teknis yuridis penyidikan dan penuntutan, sebagaimana pesan singkat Indriyanto Seno Adji, komisioner sementara KPK.
Penjelasan di atas perlu dituliskan agar konteks silang pendapat yang terjadi antara saya dan Eddy Hiariej sesungguhnya hanya tersisa pada dua wilayah, yakni penggunaan penafsiran hukum dan pentingnya penguasaan teknis para komisioner KPK.
Penafsiran hukum
Siapa pun yang berlatar belakang yuris tentu sangat paham bahwa dalam konsep penafsiran, unit dan teknis penafsiran tidak pernah dapat dibaca tunggal. Juga jangan dilupakan, dalam konteks ini unsur subyektif penafsir sering sangat menguasai pilihan metode tafsir dan perspektif yang membangun argumentasinya.
Maka, berkembanglah konsep tafsir yang membaca peraturan secara hermeunetik, yang tak pernah bisa melepaskan teks dari konteks dan penafsir itu sendiri. Itulah yang sedang coba diingatkan oleh ajaran hermeunetik: penafsir itu adalah unsur penting yang tak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu, pertanyaan mendasar yang tentunya bisa ditanyakan: mengapa harus membawa ke tafsiran harmoniserende dan doktriner serta bagaimana nasib metode tafsir lainnya? Bahkan, ketika Eddy Hiariej menggunakan kedua metode tafsir itu untuk menjelaskan pasal-pasal di UU KPK, pada hakikatnya terlihat subyektivitasnya ketika ia membawa penafsiran itu dari basis argumentasi yang ia bangun sendiri susunannya.
Dengan menggunakan tafsir harmoniserende ataupun doktriner, sesungguhnya dapat dibangun basis argumentasi yang berlawanan dengan hasil pemikiran argumentasi Eddy Hiariej. Tafsir yang menekankan harmonisasi antar-ketentuan perundang-undangan KPK sangat bisa dibaca sebaliknya: mustahil diharmoniskan karena yang terjadi harmonisasi parsial. Hanya harmonis di satu sisi dan tak harmonis di lain sisi. Harmonis untuk beberapa komisioner KPK yang berasal dari jaksa dan polisi tapi tentu tidak tepat dan tidak harmonis untuk komisioner KPK yang tidak berasal dari jaksa dan polisi.
Harmoniserende ini berdiri di basis penafsiran teks sesungguhnya. Justru itulah kelemahan terbesarnya. Karena itu, konteks pun harus dinyatakan untuk melengkapi hal tersebut. Edward McWhinney (1946), misalnya, menyatakan bahwa pilihan tafsir yang dilakukan penafsir harus dijelaskan, semisal dalam judicial review, supaya ada alasan mengapa memilih metode penafsiran tertentu dan teknik tertentu dalam melakukan penafsiran.
Penggunaan tafsir doktriner juga dapat dibaca sebaliknya. Jika dibaca dari konsep doktrin minimalisasi konflik kepentingan, hasilnya justru polisi dan jaksa harusnya diminimalisasi di KPK, mengingat kedua lembaga inilah yang akan dibersihkan dan dikuatkan oleh KPK. Atau menggunakan doktrin eksternalisasi supervisi yang mengatakan, pengendalian eksternal jauh lebih sukses dibandingkan pengendalian internal. Meletakkan KPK yang berjarak dengan kepolisian dan kejaksaan dapat membantu obyektivitas hasil penguatan.
Kemampuan teknis
Intinya, basis penafsiran sebaiknya tidak didasarkan hanya teks semata karena membuka kemungkinan bias penafsir dalam menentukan makna. Konteks jadi penting. Praktik yang terjadi di lapangan juga penting. Karena itu, saya mengingatkan dalam tulisan sebelumnya: tidak ada bukti otentik kausal adanya unsur jaksa dan polisi di pimpinan KPK yang membantu pelaksanaan tugas di KPK dan kejaksaan.
Sederhananya, ada unsur polisi dan jaksa di KPK tetap terjadi konflik Bibit-Chandra di KPK sebelumnya yang kemudian di kenal dengan ”Cicak vs Buaya”. Namun, tak ada polisi, relasi KPK dan kepolisian terbangun menarik dan baik di zaman Kepala Polri dan Kepala Bareskrim Polri sebelumnya. Hanya belakangan saja ketika mereka diganti terjadi pemburukan relasi.
Kemampuan teknis tentu bisa dipelajari dan didalami. Bahwa ada pengakuan via pesan singkat salah seorang guru besar dan pengacara yang saat ini menjadi pimpinan sementara KPK tentu tidak bisa dipakai untuk membenarkan cara pandang bahwa kemampuan teknis tak bisa dipelajari dan dipahami sehingga harus ada jaksa dan polisi untuk komisioner KPK. Privilese teknis tentu tak dapat dibenarkan untuk hal ini, dan mengherankan untuk membangun basis argumentasi dengan cara ini.
Dalam UU Kejaksaan, misalnya, syarat jadi Jaksa Agung bahkan tidak harus dari internal kejaksaan. Apakah itu berarti pesan UU mengatakan bahwa seorang Jaksa Agung tidaklah penting kapasitas teknis penyidikan dan penuntutannya?
Intinya, penguatan kapasitas teknis sangat mungkin dibutuhkan tapi tidak berarti jadi syarat mutlak. Apalagi, hal tersebut dapat dipelajari seiring waktu. Dari sinilah tulisan (boleh jadi silang pendapat) ini ingin diakhiri. Ada hal yang jauh lebih, yakni kapabilitas dan integritas calon. Oleh karena itu, rasanya tidak terlalu penting untuk memperdebatkan komposisi komisioner KPK hanya perihal jaksa dan polisi harus ada atau tidak dalam komposisi pimpinan.
Akan tetapi, pesan paling inti adalah jangan sampai Pansel KPK terjebak pada pragmatisme pemikiran bahwa adanya jaksa dan polisi akan membantu penegakan hukum antikorupsi di KPK. Penafsiran hukum dan praktik yang terjadi tak mengafirmasi itu. Rasanya, lebih penting Pansel KPK harus berpikir kuat terkait tren korupsi apa saja yang saat ini diderita republik ini dan sebaiknya apa yang diusung di komposisi KPK untuk mengakhiri dan menjinakkan tren korupsi tersebut.
Zainal Arifin Mochtar, Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT Korupsi pada Fakultas Hukum UGM
----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Perihal Komisioner KPK".