Perisai untuk Melindungi Saksi
Jika mengungkapkan kejahatan membuat sengsara, akan langka orang yang bersedia menjadi saksi dan pelapor. Padahal membongkar korupsi, penyelundupan, dan kejahatan terorganisasi lainnya sangat memerlukan orang dalam yang mau buka suara. Bila akibatnya hidup jadi sulit dan dibayangi ancaman, bahkan mungkin ikut dihukum juga, tak ada yang sudi diminta jadi saksi. Karena itu, pelapor, saksi, dan korban kejahatan harus dilindungi seperlunya.
Sudah lama perlindungan semacam itu dinantikan. Sejak dulu diketahui bahwa kejahatan seperti korupsi, pengedaran narkoba, dan terorisme lebih mudah diberantas kalau yang bersedia jadi saksi benar-benar dilindungi setelah melapor ke polisi atau mengajukan bukti di pengadilan. Yang menyanyi perlu dilindungi, dengan dua tujuan: agar berani memberikan informasi yang lengkap dan benar, serta supaya lebih banyak orang mau maju jadi saksi karena ternyata betul-betul aman. Di mata penjahat, yang menyanyi--whistleblower--adalah pengkhianat, sedangkan oleh hukum dan negara mereka dipandang berjasa dan diperlukan.
Hanya negara yang mampu menyediakan perisai yang kuatnya melebihi bahaya pembalasan dari yang dirugikan. Perlindungan yang ditawarkan juga harus sah secara hukum. Maka yang segera diperlukan adalah undang-undang. Badan Legislasi DPR, yang menyusun agenda pembuatan undang-undang, berencana membuat Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada tahun ini. Pemerintah juga ingin mulai membahasnya pada triwulan kedua 2005. Mungkin undang-undang yang diperlukan untuk mendorong pemberantasan korupsi itu bisa lekas selesai, tapi belum pasti bermutu baik jika tak teliti membuatnya.
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah diajukan oleh DPR. Tampaknya banyak masalah yang masih perlu diperbaiki dalam RUU ini. Juga konsepsi dan lingkup perlindungan yang diberikan belum sempurna. Yang jadi sasaran perlindungan adalah keamanan saksi dan korban dalam memberikan keterangan pada proses peradilan pidana. Diatur juga bantuan bagi korban tindak pidana kekerasan dan pelanggaran berat hak asasi, termasuk soal kompensasi dan ganti rugi. Namun, bagaimana melindungi dan memberikan kekebalan bagi pelapor kejahatan seperti korupsi atau pembalakan liar yang melibatkan aparat kekuasaan, misalnya, belum diatur.
Perlindungan yang ditawarkan kepada saksi dan korban dalam RUU itu lebih bersifat fisik, belum memberikan perlindungan hukum. Belum tercantum pasal penghapusan pidana atau pengguguran tuntutan hukum bagi siapa pun yang melaporkan atau rela bersaksi untuk kepentingan umum. Dalam RUU ini dirumuskan, saksi yang terlibat tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana walaupun hakim dapat mempertimbangkan keringanan pidana yang dijatuhkan.
Asas oportunitas yang memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk membatalkan proses tuntutan pidana demi kepentingan umum tidak tecermin dalam RUU ini. Padahal, untuk merangsang partisipasi dalam membongkar tindak pidana berat seperti korupsi, kejahatan narkotik, pencucian uang, dan terorisme, pembebasan tuntutan pidana sangat penting sebagai insentif. Juga belum diatur perlindungan bagi public interest disclosure: agar seorang karyawan tidak berisiko dipecat atau ditekan majikannya karena melaporkan ketidakberesan perusahaan yang menyangkut kepentingan umum, misalnya pencemaran lingkungan.
RUU itu masih banyak lubangnya. Ada kebiasaan, demi mengejar waktu, DPR membuat rancangan sekadarnya saja, karena toh masih akan diperbaiki dalam pembahasan bersama pemerintah. Jika memang begitu, lengkapi dan perbaikilah.
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 14 Maret 2005