Perkara Korupsi di Layar Kaca

berita tvApakah para calon koruptor takut melihat begitu banyak koruptor ditelanjangi habis-habisan dalam program berita di layar kaca? Jika tidak, mungkin mereka tinggal menunggu waktu untuk ”tampil” di episode-episode berikutnya sebagai tokoh pesakitan.

Kasus korupsi beberapa tahun belakangan menjadi santapan empuk pengelola stasiun televisi. Tidak hanya karena isu tersebut penting untuk diketahui khalayak luas, melainkan juga karena pengungkapan kasus korupsi, terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kian dramatis.

Melalui penyadapan telepon dan pengambilan gambar dengan kamera tersembunyi oleh KPK, kita bisa mengetahui secara rinci bagaimana modus korupsi di Indonesia. Kita mendapat gambaran utuh bagaimana lembaga ini menangkap seorang jaksa bobrok yang baru saja menjemput uang suap dari seorang broker kasus.

Bagi pengelola stasiun televisi, unsur-unsur dramatis itu sangat menggairahkan untuk dieksploitasi, kemudian dikawinkan dengan fakta-fakta dan dikemas jadi berita yang enak ditonton.

Tengoklah acara KPK: Kumpulan Perkara Korupsi di TransTV setiap Senin malam (pengelola acara ini sengaja menamai programnya dengan akronim KPK, lembaga yang sedang giat memberantas korupsi). Program yang tayang sejak Juli 2008 ini berusaha memfilmkan kasus korupsi, mulai dari penyelidikan, penyidikan, proses pengadilan, hingga sang koruptor masuk penjara.

Salah satu kasus yang digarap adalah kasus suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani. Acara ini menggambarkan secara rinci bagaimana Urip disergap anggota KPK, lengkap dengan adegan meronta-ronta dan teriakan-teriakan panik Urip saat akan diborgol. Acara ini juga membeberkan bagaimana kasus suap itu terungkap sedikit demi sedikit.

”Pengungkapan kasus korupsi sekarang alurnya sudah membentuk cerita yang lengkap. Di situ juga ada ’unsur sinetron’ (unsur dramatis), seperti adegan terdakwa korupsi menangis tersedu-sedu begitu mendengar vonis hakim,” ujar M Rizki Arafat, produser program KPK TransTV, Kamis (9/10) malam.

Program KPK TransTV itu diramu dari gambar dan fakta yang diambil wartawan di ruang pengadilan, kantor KPK, hingga lokasi kejadian. Gambar dan fakta itu dirangkai menjadi cerita utuh sehingga berbentuk seperti film semidokumenter lengkap dengan narasi yang kuat, grafis, dan sound-bite (suara-suara yang membangun suasana tertentu).

Jika kru TransTV tidak memiliki gambar untuk menjelaskan satu bagian cerita, mereka mengakalinya dengan merekonstruksi ulang adegan yang diperankan para model. Reka ulang adegan, kata Rizki, dibuat berdasarkan pengakuan saksi- saksi, keterangan otoritas, dan fakta pengadilan.

Di layar kaca, rekaman gambar reka ulang oleh model diberi tulisan ”Diperankan Model” untuk membedakan dengan gambar yang diambil dari hasil liputan.

Rizki mengatakan, pihaknya menggunakan gambar reka ulang sekadar untuk mengisi bagian cerita korupsi yang tak tersedia dokumentasi gambarnya.

Pada akhirnya, menyaksikan KPK TransTV seperti sedang menonton adegan dalam film gangster Hongkong atau Hollywood lengkap dengan kejutan- kejutannya.

Selain TransTV, di TVOne ada program Kerah Putih dan di Metro TV ada Metro Realitas. Berbeda dengan KPK TransTV, Metro Realitas dan Kerah Putih berbentuk liputan investigasi.

”Kami tidak memfilmkan kasus korupsi yang sudah terungkap. Kami memaparkan investigasi kami atas kasus korupsi,” ujar Ecep Suwardani Yasa, Produser Eksekutif Program Investigasi TVOne, Sabtu. Pernyataan senada disampaikan Swasti Astra, Manajer News Magazine MetroTV.

Format ringan

Gaya penyajian berita di televisi Indonesia memang memperlihatkan banyak perubahan sejak 10 tahun terakhir. Dulu, penyajian berita semata fokus pada pemaparan informasi oleh pembaca berita dan penayangan gambar kejadian.

Kini, penyajian berita dilengkapi dengan grafis, sound-bite, logo, reka ulang oleh model, pendapat khalayak, bahkan interaksi dengan pemirsa. Pengelola televisi juga meningkatkan tempo penyuntingan gambar sehingga alur cerita bergerak cepat dan mencolok. Satu hal lain yang tidak dilupakan adalah ”pemasangan” pembaca berita yang menarik.

Ini semua membuat program berita menjadi tidak tampak serius. Sebaliknya, program tersebut bisa menyenangkan pemirsa kendati isu yang disampaikan tergolong seram, mulai dari pembunuhan dengan mutilasi, korupsi, ancaman krisis finansial, hingga pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak.

Jika program berita dilepas begitu saja tanpa dikemas terlebih dahulu, Rizki yakin program itu tidak akan ditonton banyak pemirsa.

Ketua Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Herlina Agustin, Sabtu, menilai, bagaimanapun, pengemasan berita berpotensi memunculkan bias. Dia mencontohkan, metode reka ulang, seperti yang digunakan KPK TransTV, sebenarnya bukan kegiatan jurnalistik. ”Reka ulang itu biasa digunakan dalam film dokumenter,” katanya.

Dia menambahkan, kegiatan jurnalistik mendasarkan diri pada fakta, sementara reka ulang berdasarkan pada interpretasi. ”Kalaupun KPK TransTV terpaksa menggunakan reka ulang, mereka harus memiliki informan kunci yang bisa menjelaskan kepada penonton bahwa reka ulang itu mendekati kenyataan,” katanya.

Herlina juga mengingatkan, program KPK TransTV berpotensi menghakimi orang, terutama pada kasus-kasus korupsi yang belum diputus pengadilan.

Terlepas dari adanya bias, program semacam KPK TransTV tetap memiliki pengaruh dalam membentuk persepsi publik. Pasalnya, kekuatan berita di televisi bukan pada kemampuannya memproduksi berita yang minim bias, melainkan pada kemampuannya menggiring khalayak untuk menerima konstruksi realitas yang mereka bentuk.

Artinya, kalaupun beritanya mengandung bias, sebagian khalayak tetap akan menjadikannya sebagai referensi pengetahuan. Hal itulah yang sebenarnya ditakuti banyak pihak, termasuk koruptor.

Rizki mengatakan, sebagian koruptor atau tersangka koruptor dan keluarganya keberatan kasusnya ditayangkan dalam program KPK TransTV. ”Ada yang mengirim surat keberatan atau mengancam akan menyomasi. Kami tidak mundur sebab kami merasa liputan kami berdasarkan fakta dan berimbang,” ujarnya.

Rizki menegaskan, sikap itu diambil karena pihaknya ingin jadi bagian dari gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini. [Budi Suwarna]

 Sumber: Kompas, 12 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan