Perlawanan Moral
Berita Tiga Hakim Lakukan Perlawanan Moral (Kompas, 5 Mei 2006) berisi studi kasus menarik bagaimana pemakaian bahasa menentukan bukan hanya pemahaman atas makna kata dan kalimat yang dipakai penutur atau penulis. Kata, kalimat, ungkapan yang dipilih juga mencerminkan bagaimana penulis memaknai realitas yang dituturkannya dan nilai kehidupan yang dianutnya. Ini prinsip yang mendasari pengakuan jurnalisme modern bahwa berita obyektif sebetulnya tidak ada; yang ada ialah berita berimbang dan tentu saja jujur.
Yang dijadikan pokok berita adalah peristiwa kasatmata sederhana saja. Tiga hakim ad hoc ngotot dengan meninggalkan ruang sidang sebelum sidang berakhir sebagai protes atas sikap ngotot Ketua Majelis Kresna Menon yang menolak memanggil Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan sebagai saksi dalam suatu kasus suap.
Karena di balik kejadian ngotot-ngototan itu ada persoalan menggunung yang sangat rumit yang berakar dalam sejarah panjang dunia peradilan Indonesia yang jarang mandiri itu, penulis berita lantas bisa mengarah ke mana saja. Artinya, si wartawan tidak lagi sekadar pembawa berita, tapi sudah jadi pemasok makna. Si penulis, mau tidak mau, sadar tidak sadar, menyajikan berita itu sudah lengkap dengan bumbu istimewa pemaknaan racikannya sendiri dan bungkus warna ideologi pilihannya.
Tindakan ketiga hakim itu disebut perlawanan moral. Pemakaian ungkapan ini bisa mengacu pada penilaian etis atas keputusan Kresna Menon. Barangkali mereka menganggap keputusan harga mati si ketua majelis itu tidak bermoral alias jahat sesat. Maka, setelah gagal memaksa agar keputusan diubah, mereka pun melakukan aksi protes terang-terangan agar paling tidak, orang banyak tahu akan kebejatan keputusan itu dan akan usaha mereka yang habis-habisan, walaupun tidak berhasil, membawanya kembali ke jalan lurus.
Namun, ungkapan itu pun mengacu pada kelemahan: ketiga hakim itu sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, sudah tidak ada jalan lain, maka mereka melakukan perlawanan moral, artinya, perlawanan tanpa kuasa nyata, perlawanan yang ditujukan bukan untuk mengalahkan, mengatasi, atau menghukum, bukan untuk menghasilkan suatu tindakan nyata tapi untuk memengaruhi pikiran, perasaan, pendapat, atau keinginan. Hanya saja, ini tugas utama ulama, orangtua, atau guru, yang tanggung jawab pertamanya ialah membujuk. Bukan tugas utama petugas atau pejabat yang berkaitan dengan pengadilan seperti hakim, jaksa, atau polisi, yang tanggung jawab pertamanya ialah memaksa. Jadi, kalau sampai hakim ujung-ujungnya cuma bisa ngambek, ya, sudahlah, apa boleh buat, lepas tangan saja, atau dalam hal ini lepas kaki.
Kejadian itu bisa diberi pemaknaan berbeda, misalnya dengan mengatakan bahwa itu adalah perlawanan terhadap struktur. Dilihat dari sudut pandang ini, masalah utama bukan lagi sekadar sikap sang ketua majelis hakim dalam satu kasus tertentu, sepenting apa pun kasus itu, melainkan sistem peradilan yang memungkinkan kebobrokan menguasai keadilan secara struktural tanpa jalan mengatasinya secara struktural pula. Sistem yang ada tidak memberikan kesempatan bagi keadilan untuk tampil. Maka, makna peristiwa itu menjadi tindakan berani tiga hakim menentang kemapanan dan merupakan tuntutan terbuka ke arah sistem peradilan yang tidak bersandar pada kekuasaan atau pengaruh orang per orang tapi, sebagaimana seharusnya, pada keadilan.
Bahwa peristiwa itu mencerminkan penolakan terhadap arogansi kekuasaan dibenarkan pula oleh anggota DPR Benny K Harman yang menganggap kengototan Kresna Menon wajar dengan menyatakan, Dia tentunya harus loyal terhadap atasannya.
Loyal terhadap atasan adalah konsep yang sangat berterima di Indonesia. Kesetiaan terhadap orang yang lebih berkuasa adalah nilai yang sangat dijunjung, sering kali lebih tinggi daripada kebenaran (menipu demi atasan), dan kadang-kadang lebih tinggi daripada kehidupan itu sendiri (membunuh karena diperintah). Dan banyak orang berprinsip bahwa apa yang biasa terjadi atau berlaku umum itu dengan sendirinya benar dan harus diikuti. Dengan memakai ungkapan ini, Benny berusaha membujuk orang banyak menyetujui dukungannya bahwa seorang hakim harus tunduk terhadap atasan, bukan terhadap keadilan. Barangkali, sebagai orang Indonesia yang baik dan benar, dia juga yakin bahwa seorang anggota DPR harus tunduk terhadap pemimpin partai atau fraksi, bukan terhadap rakyat.
Samsudin Berlian, Seorang Pemerhati Bahasa
Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 Mei 2006