Pernyataan Hakim Karier Koruptif adalah Penghinaan
Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Binsar Gultom mengaku keberatan disebut sebagai pihak yang koruptif sehingga dinilai tak layak mendapat wewenang menentukan jumlah dan komposisi majelis hakim yang mengadili kasus tindak pidana korupsi atau tipikor.
Ia menilai pernyataan bahwa ketua pengadilan negeri (PN) atau Mahkamah Agung (MA) tidak layak menentukan komposisi hakim Pengadilan Tipikor, antara hakim karier dan hakim ad hoc, sebagai penghinaan dan pelecehan terhadap pimpinan lembaga yudikatif. Apalagi, pernyataan itu tak disertai bukti akurat.
Binsar mengungkapkan hal itu kepada Kompas, Selasa (22/7). Ia menanggapi pendapat sejumlah pengamat dan ahli hukum yang menyatakan, menyerahkan komposisi hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor kepada ketua PN dan Ketua MA sama saja menyerahkan penanganan kasus korupsi ke tangan yang koruptif (Kompas, 22/7).
Menurut Binsar, pernyataan itu melecehkan integritas hakim secara keseluruhan. Padahal, integritas hakim sangat bergantung pada masing-masing pribadi, tak berhubungan dengan status sebagai hakim karier atau hakim ad hoc. Juga tidak ada jaminan integritas Pengadilan Tipikor terletak pada hakim ad hoc sebagai representasi publik.
Mengenai kewenangan menentukan komposisi majelis, Binsar berpendapat, ketua PN atau Ketua MA berhak dan berwenang melakukan hal itu. Pendapat itu mengacu Pasal 54 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kedua undang-undang itu menyatakan, pengadilan khusus hanya bisa dibentuk dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Khusus Tipikor, jelas Binsar, juga harus masuk dalam lingkungan peradilan umum.
Anggota Tim Perumus Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor, Indriyanto Seno Adji, secara terpisah mengatakan, pilihan untuk menyerahkan penentuan majelis hakim kepada ketua PN atau MA adalah alternatif paling moderat terhadap pandangan subyektivisme hakim karier dan ad hoc. Pilihan itu juga untuk menghindari dikotomi hakim karier dan ad hoc.
Selain itu, jelas Indriyanto, dipilihnya ketua PN atau Ketua MA juga didasarkan atas pandangan bahwa mereka adalah penanggung jawab secara administratif. Mereka dapat memilih hakim untuk suatu perkara sesuai dengan tingkat kesulitan dan kompleksitas perkara itu.
Apalagi hakim ad hoc, menurut RUU, adalah hakim ad hoc plus, artinya hakim ad hoc yang memiliki kemampuan atau keahlian khusus. (ana/tra)
Sumber: Kompas, 23 juli 2008