Perpu Antikorupsi Jangan Abaikan Hak Terdakwa
Di dalam menggodok Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Percepatan Pemberantasan Korupsi, pemerintah perlu memerhatikan hak-hak pribadi terdakwa. Jangan sampai perpu kandas dan menjadi sia-sia karena banyak melanggar hak asasi manusia atau kandas di persidangan Mahkamah Konstitusi.
Hal ini disampaikan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan kepada wartawan seusai shalat Jumat, kemarin. Perpu percepatan pemberantasan korupsi ini akan dikenakan untuk perkara korupsi yang bernilai Rp 50 miliar ke atas.
Meskipun semangat yang dikandung perpu itu positif, ide membuat perpu dinilai banyak kalangan, di antaranya anggota DPR Benny K Harman dan hakim Binsar Gultom, sebagai salah obat dalam memberantas korupsi. Problem terbesar dalam pemberantasan korupsi terletak pada aparat penegak hukumnya karena perangkat undang-undang di bidang korupsi lebih dari cukup.
Hati-hati
Bagir mengingatkan perpu harus secara detail mencantumkan batas waktu yang jelas penanganan kasus korupsi mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan.
Ia meminta pemerintah mewaspadai terhadap kemungkinan hak-hak pribadi terdakwa dirugikan sehingga bisa menjadi alasan terdakwa korupsi mengajukan judicial review perpu ini ke Mahkamah Konstitusi. Harus hati-hati dan harus dipikirkan betul. Meski tujuan dari perpu ini bagus, yakni untuk menjamin proses penegakan hukum dalam kasus korupsi, tetapi juga harus diperhatikan jangan sampai ada pelanggaran hak asasi terdakwa, ujar Bagir.
Selain itu, lanjut Bagir, di dalam perpu tersebut juga ditegaskan bahwa perpu ini menyimpangi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Harus juga dinyatakan di dalam perpu bahwa hak ganti rugi terdakwa harus ada. Itu harus dipikirkan, jangan sampai perpu ini dihadapkan pada Pasal 28 UUD 1945 yang bisa saja kandas di MK, tegas Bagir.
Soal penahanan, lanjut Bagir, perpu tersebut harus mengatur batas waktu berapa lama penanganan kasus korupsi mulai dari penyidikan hingga pengadilan. Sebab, dalam KUHAP penahanan diatur dengan batas waktu maksimal. Oleh karena itu, jika perpu ini akan menahan pelaku korupsi mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga putusan MA, maka ada konsekuensi soal waktu.
Untuk kepentingan terdakwa agar tidak terlalu dirugikan dengan batas waktu yang tidak terbatas, maka ada konsekuensi bagi semua pihak, termasuk hakim untuk menyelesaikan dalam menyelesaikan kasus. Hakim harus bekerja dengan cepat termasuk di MA, saya janjikan itu. Masalah waktu itu harus dipikirkan betul, kata Bagir.
Ia melanjutkan, bila kasus tersebut ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, maka batas waktunya cukup jelas karena di dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK sudah diatur soal batas waktu penanganan perkara. Namun, akan menjadi persoalan kalau perkara itu tidak ditangani KPK maka yang berlaku adalah proses biasa. Oleh karena itu, penyidik, penuntut, dan hakim harus memerhatikan betul persoalan ini.
Rezim hukum lain
Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin menolak berkomentar dulu soal pembuatan Perpu Percepatan Pemberantasan Korupsi ini. Saya tidak usah dulu berkomentar soal perpu ini. Saya akan undang Anda semua jika sudah selesai. Saat ini pasal-pasal tersebut harus diperbaiki betul agar tidak menabrak kanan kiri, jelas Hamid.
Direktur Jenderal Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM Abdulgani Abdullah mengatakan bahwa di dalam perpu ini tidak diatur soal hak terdakwa karena hak tersebut berada pada rezim hukum lain, yakni hukum perdata. Kalau soal ganti rugi itu dari segi perdata boleh saja, tetapi itu rezim yang lain, bukan korupsi. Kalau dia merasa dirugikan oleh tindakan hukum, silakan saja mengajukan gugatan perdata, kata Abdulgani.
Soal pemberian rehabilitasi dan ganti rugi yang pernah diterapkan dalam kasus pidana, Abdulgani mengatakan bahwa hal itu harus dibicarakan lebih lanjut apakah unsur perdata bisa dimasukkan ke dalam suatu pidana. Apakah unsur tersebut bisa bergabung di dalam satu undang-undang yang mengatur tindak pidana.
Soal kritik bahwa perpu ini hanya akan menjadi simbol, Abdulgani mengatakan bahwa jika bicara soal kinerja penegak hukum, ia mempersilakan untuk bertanya langsung ke Kepala Polri, Jaksa Agung, maupun Mahkamah Agung. Di dalam perpu ini semua unsur penegak hukum harus menjadi satu sinergi semangatnya dan tindakannya dalam pemberantasan korupsi, ungkapnya. (vin)
Sumber: Kompas, 8 Januari 2005